Kopi menjadi salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia karena peran pentingnya dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Peranannya sangat signifikan dalam memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.
Selama hampir tiga abad, budidaya kopi telah menjadi usaha berkelanjutan di Indonesia untuk memenuhi permintaan baik domestik maupun internasional.
Perkembangan zaman telah mengubah dinamika perkebunan, tidak lagi bergantung pada monopoli pemerintah kolonial.
Dampak Undang-undang Agraria tahun 1870 terhadap sistem perkebunan di Hindia Belanda sangatlah besar.
Undang-undang tersebut membuka pintu bagi perusahaan swasta untuk berinvestasi di Jawa.
Hal ini tidak hanya memungkinkan penduduk pribumi memiliki tanah mereka sendiri, tetapi juga membuka peluang bagi orang asing untuk menyewa tanah dari pemerintah atau pemilik pribumi.
Prinsip ekonomi liberal memberikan kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanah mereka sambil menyediakan tenaga kerja bagi perusahaan perkebunan.
Periode transisi ini menandai pergeseran dari dominasi pemerintah ke sektor swasta dalam industri perkebunan, dengan perkebunan milik pemerintah menyusut dan perkebunan swasta berkembang.
Komoditas seperti kopi, gula, teh, dan tembakau memainkan peran penting dalam proses ini.
Salah satunya adalah wilayah Blitar yang iklim dan tanahnya cocok untuk ditanami komoditas-komoditas tersebut karena berada di lereng atau kaki dari Gunung Kelud.
Sehingga dalam perkembangannya, banyak berdiri perkebunan kopi di beberapa wilayah Blitar.
Berikut tiga perkebunan kopi di Blitar pada masa kolonial.
- Perkebunan Kopi Karanganjar
Perkebunan Kopi Karanganjar, yang juga dikenal sebagai De Karanganjar Koffieplantage, adalah sebuah perkebunan kopi yang memiliki sejarah yang panjang dan menarik.
Didirikan pada tahun 1874 oleh H. J. Velsink dan Hendrik Van Vredenberg selama era kolonial Belanda, perkebunan ini kemudian dikelola oleh perusahaan Belanda, NV.
Kultuur Mij Karanganjar.
Terletak di lereng Gunung Kelud, Blitar, Jawa Timur, perkebunan ini terkenal dengan produksi kopi jenis Robusta dan cengkeh.
Namun, sejarah perkebunan ini tidak selalu mulus. Pada tahun 1942, saat Jepang datang, kegiatan di perkebunan ini terhenti sementara waktu.
Setelah Indonesia merdeka, perusahaan asing dinasionalisasi dan pengelolaan diserahkan kepada para veteran perang kemerdekaan.
Untuk wilayah Karanganyar, pengelolaan diserahkan kepada veteran Denny Roeshadi, yang kebetulan juga bekerja di perkebunan ini.
Berbicara tentang komoditas utama, perkebunan ini terletak di lereng Gunung Kelud dengan ketinggian 475–650 meter, yang membuatnya cocok untuk ditanami kopi robusta sebagai komoditi utama.
Selain itu, perkebunan ini juga menanam sebagian kecil kopi excelsa.
Sebagai komoditi pendamping, terdapat pula tanaman cengkeh dan juga durian.
- Perkebunan Gogo-Niti
Perkebunan Gogo-niti, yang terletak di kecamatan Doko, dulunya merupakan bagian dari kawedanan Wlingi di Blitar bagian timur.
Awalnya, perkebunan ini dikelola oleh Cultuur Maatschappij Gogoniti dan beroperasi setelah diberlakukannya undang-undang agrarische wet pada tahun 1870.
Pada tahun 1891, produksi di perkebunan Gogo-niti dimulai di bawah pimpinan Baron Sloet Hangesdrop (1910) dan MR. Dr. Richard Heino (1915).
Selama masa kolonial, perkebunan ini menghasilkan kopi, coklat, dan sedikit Kina.
Laporan De Telegraf pada tahun 1929 mencatat bahwa Gogo-niti menghasilkan 500 pikul kopi dengan harga 46.5 gulden per pikul (1 pikul sekitar 60 kg).
Setelah Indonesia merdeka, perkebunan ini terbengkalai hingga 1955, ketika masyarakat melakukan gerakan untuk mengambil kembali lahan-lahan terbengkalai sebagai bagian dari reforma agraria.
Namun, pada tahun 1967, pemerintahan Orde Baru memulai program revolusi hijau dengan merehabilitasi perkebunan-perkebunan secara besar-besaran.
Banyak perkebunan, termasuk Gogo-niti, yang direbut kembali oleh militer setelah diambil alih oleh masyarakat secara paksa, menyebabkan teror dan konflik di Blitar.
- Perkebunan Kopi Karangredjo
Pada tanggal 15 November 1902, H.Th Van Lennep, seorang administrator bisnis Belanda, membuka Karangredjo sebagai perkebunan kopi.
Perusahaan yang mengelolanya adalah NV NEDERLANDS INDISCHE RUBBER KOFFIE CULTUR MAASTCHATPIJ.
Perkebunan ini memiliki luas mencapai 316,7742 Ha.
Sekitar tahun 1910, Van Lennep mengembangkan perkebunannya menjadi tempat pemanggangan dan peracikan kopi jadi.
Kopi yang diproduksi di Karangredjo terkenal hingga ke luar negeri, terutama di Eropa, menunjukkan kualitasnya yang sangat baik.
Saat ini, perkebunan Karangredjo telah ditempati oleh masyarakat, terutama petani yang mendapat manfaat dari landreform tahun 1964.
Dari ketiga perkebunan kopi tersebut, hanya Perkebunan Kopi Karanganjar yang masih beroperasi hingga kini dengan suasana baru yang disesuaikan perkembangan zaman namun tetap mempertahankan nilai historisnya.
Seperti halnya, pada tahun 2016, kebun kopi Karanganyar dibuka sebagai destinasi wisata dengan brand wisata baru “De Karanganjar Koffieplantage”.
Dengan demikian, jejak kolonial Belanda terhadap komoditas kopi di Blitar masih bisa dirasakan hingga saat ini, baik dari segi sejarah maupun dari segi wisata.
Perkebunan Kopi Karanganjar kini menjadi simbol penting dari sejarah dan budaya kopi di Indonesia.
Mengenai fasilitas, pengunjung dapat menikmati kopi asli Kebun Karanganyar di cafe yang disediakan dengan nuansa Belanda yang masih terasa dan menikmati beragam fasilitas edukasi kopi atau sekedar menjelajahi perkebunan kopi.
Sumber Referensi:
De Indische Courant, De Locomotive, Peta Blitar Tempoe Doeloe (fb), KITLV universitas Leiden Belanda.
De telegraaf, Tropenmuseum, Catatan Pandu, kitlv, Blitar Tempo Dulu