Kisah Panji memiliki banyak versi dalam sastra.
Cerita-cerita ini menggambarkan pertunangan Putra Panji (Inu) dari Kerajaan Jenggala/Kahuripan dengan Putri Candrakirana (Sekartaji) dari Kerajaan Daha/Kediri.
Kedua kekasih ini terpisah, saling mencari sambil berkelana, dan menghadapi banyak rintangan hingga akhirnya bersatu kembali.
Tiga elemen ini – perpisahan, pencarian, dan penyatuan – menjadi ciri khas dari semua versi cerita Panji.
Namun, ada perbedaan antara medium gambar dan sastra, yakni dalam cerita Panji versi sastra sering terdapat adegan peperangan, sedangkan dalam relief Candi Penataran Panji tidak berperan sebagai prajurit.
Meskipun Panji dan Candrakirana berasal dari kaum bangsawan, mereka digambarkan bersikap sederhana seperti rakyat biasa, terutama saat berkelana di pedesaan.
Dalam relief, mereka digambarkan berpakaian sederhana dengan sedikit hiasan, dan lingkungannya digambarkan secara minimalis.
Relief-relief di Candi Panataran menggambarkan situasi tertentu secara berulang kali: (a) Rindu dan keterpisahan dengan sikap tubuh mendambakan cinta, (b) Perjalanan laki-laki bertopi bersama panakawan atau kadeyan, (c) Penyatuan laki-laki dan perempuan dengan sikap tubuh yang menggambarkan hubungan seksual, (d) Pertemuan dengan pertapa, dan (e) Menyeberangi perairan.
Elemen (a), (b), dan (c) adalah unsur terpenting dalam cerita Panji berbentuk sastra.
Namun, unsur (d) dan (e) hanya muncul dalam beberapa versi cerita Panji, sedangkan dalam penggambaran relief, unsur-unsur ini menjadi lebih menonjol dan penting.
Penggambaran Panji dalam relief bertujuan menyambut peziarah ke dalam dunia sehari-hari dan sekaligus sebagai tanda dimulainya proses Tantra.
Jalan pelajaran dharma menjadi tujuan utama dalam penggambaran cerita Panji di Teras Pendopo di Candi Panataran.
Yang luar biasa adalah kisah Panji yang berciri khas kerakyatan dan dunia manusiawi digunakan di candi, tempat yang suci.
Candi Panataran sendiri berfungsi sebagai candi kerajaan Majapahit, digunakan untuk pemujaan para dewa dan sebagai tempat pengajaran religius.
Hal ini diketahui dari Bujangga Manik, karya sastra awal abad ke-16, yang menceritakan tentang seorang murid yang merasa tempatnya terlalu ramai dengan upacara sehingga terganggu dalam pendalaman spiritualnya.
Pada zaman Majapahit, cerita Panji menjadi populer dan dihargai karena simbolisme politiknya: usaha menyatukan dua kerajaan historis, Jenggala dan Daha, melalui tokoh Panji dan Candrakirana adalah aspek penting dalam kedamaian dan harmoni kerajaan.
Penggambaran cerita Panji di candi, khususnya di Candi Panataran, digunakan sebagai simbol religius sekaligus lambang politik.
Terlepas dari penafsiran dan fungsi Panji di candi-candi, nilai-nilai yang terkandung dalam cerita Panji relevan untuk semua manusia.
Walaupun kita menghadapi kesulitan (perpisahan), kita terus berusaha dan berjuang (perkelanaan) untuk mencapai tujuan kita (penyatuan), dengan menerima bantuan dan ajaran dari seorang pembimbing.
Hasil akhirnya adalah kedamaian dan keseimbangan.
Tujuan ini tidak ditentukan oleh otoritas, tetapi oleh manusia itu sendiri. Nilai-nilai ini memiliki potensi untuk diterapkan dalam kegiatan dan konsep kehidupan masa kini.
Cerita Panji juga diadaptasi dalam seni pertunjukan seperti wayang, tarian, dan teater. Wayang Topeng terkenal di Jawa Timur sebagai Topeng Malangan.
Daerah-daerah lain di Jawa juga memiliki tradisi Wayang Topeng mereka sendiri, seperti di Yogyakarta, Solo, Klaten, dan Cirebon.
Topeng Jawa Timur memiliki karakter kerakyatan, sedangkan Topeng Jawa Tengah lebih halus, mungkin karena pengaruh tari klasik gaya kraton.
Beberapa jenis wayang yang terkait dengan cerita Panji hampir punah, seperti Wayang Krucil, Wayang Gedhog, dan Wayang Beber.
Baru-baru ini ada upaya revitalisasi Wayang Beber; di Pacitan dan Wonogiri ada dalang yang menghidupkan dan melanjutkan tradisi ini.
Ada pendapat bahwa Wayang Beber, seperti halnya Wayang Topeng, berasal dari zaman Majapahit.
Cerita Panji, dengan segala nilai dan ajarannya, tidak hanya merefleksikan perjalanan hidup manusia, tetapi juga memberikan inspirasi yang relevan hingga masa kini.
Melalui seni pertunjukan seperti wayang, tarian, dan teater, kisah Panji terus hidup dan berkembang, menunjukkan bahwa warisan budaya ini tetap memiliki tempat istimewa dalam hati masyarakat.
Upaya revitalisasi yang dilakukan oleh para seniman dan dalang di berbagai daerah memperlihatkan semangat yang tak pernah pudar untuk melestarikan dan menghidupkan kembali tradisi yang hampir punah.
Salah satunya adalah melalui Festival Panji ASEAN, acara tahunan yang mengundang negara-negara ASEAN untuk merayakan Panji di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Festival ini menampilkan pertunjukan kolaborasi cerita Panji dari masing-masing negara ASEAN, serta seni tradisi yang berpusat pada kisah Panji.
De Karanganjar Koffieplantage, sebagai tempat pelestarian budaya Panji di Indonesia, juga menjadi tujuan wisata yang memperkuat persaudaraan antar negara-negara di ASEAN beberapa waktu lalu.
Tempat ini terus menjadi tujuan wisata yang menerima siapa pun yang berminat mempelajari tentang Cerita Panji dan Jejak Panji yang masih ada hingga saat ini.
Dengan demikian, kisah Panji tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga menjadi cahaya yang menerangi jalan bagi generasi masa kini dan masa depan.
Mari kita terus merayakan, menghargai, dan melestarikan kekayaan budaya ini, agar nilai-nilai kebijaksanaan, perjuangan, dan penyatuan yang terkandung dalam cerita Panji selalu hadir dalam kehidupan kita.