Siapa sih yang nggak suka belanja di pasar rakyat?
Selain bisa dapat harga lebih murah karena tawar-menawar, suasananya juga seru dan penuh kehangatan.
Tapi, tahukah kamu kalau pasar rakyat di Blitar itu punya cerita panjang sejak zaman kolonial Belanda?
Pasar-pasar di sini bukan cuma tempat jual beli biasa, tapi juga saksi bisu perjalanan sejarah, budaya, dan perjuangan masyarakat Blitar.
Awal Mula Pasar Rakyat di Blitar
Sejarah pasar rakyat di Blitar sudah dimulai sejak abad ke-19, ketika tata kota masih dipengaruhi oleh pola Mataram Islam.
Alun-alun sebagai pusat, dikelilingi masjid, penjara, dan tentu saja pasar. Dalam peta tahun 1869-1875, sudah tercatat keberadaan pasar di sekitar alun-alun Blitar, berdampingan dengan kampung Kauman dan kawasan Pecinan yang menjadi pusat perdagangan.
Di sinilah, interaksi antara pedagang pribumi dan etnis Tionghoa mulai membentuk denyut ekonomi kota.
Kawasan Pecinan, yang hingga kini masih eksis, dulunya menjadi episentrum aktivitas jual beli.
Tidak hanya pasar, di sana juga berdiri Klenteng Poo An Kiong sebagai pusat spiritual bagi warga Tionghoa.
Pasar tradisional yang kemungkinan besar adalah cikal bakal Pasar Legi sekarang, tumbuh subur di sekitar klenteng tersebut.
Foto-foto lawas dari tahun 1925 memperlihatkan betapa ramainya pasar di Blitar, dengan bangunan-bangunan sederhana dan kerumunan pedagang serta pembeli.
Pasar Legi
Salah satu pasar tertua dan paling legendaris di Blitar adalah Pasar Legi.
Terletak di pusat kota, Pasar Legi sudah menjadi pusat perdagangan sejak masa kolonial Belanda.
Pasar ini bukan hanya tempat jual beli, tapi juga simbol pertemuan lintas etnis dan budaya—pribumi, Tionghoa, hingga pedagang dari luar daerah.
Di masa kolonial, Pasar Legi menjadi titik distribusi hasil bumi dari Blitar dan sekitarnya.
Komoditas seperti beras, kopi, gula, dan hasil perkebunan lain dari lereng Gunung Kelud dan Lembah Brantas berputar di sini sebelum dikirim ke kota-kota besar atau bahkan diekspor ke luar negeri.
Belanda sangat berkepentingan untuk menjaga kelancaran pasar ini, karena dari sinilah mereka bisa mengontrol arus ekonomi lokal.
Pasar Srengat
Tak hanya di pusat kota, geliat pasar rakyat juga terasa di Srengat, salah satu kawasan penting di Blitar.
Di depan Pasar Srengat, berdiri gedung pegadaian yang dibangun Belanda pada tahun 1902. Bangunan ini menjadi saksi bisu betapa eratnya hubungan antara aktivitas ekonomi dan kontrol kolonial.
Di sekitarnya, terdapat juga penjara dan kantor kawedanan, menandakan bahwa pasar bukan hanya tempat ekonomi, tapi juga bagian dari sistem pemerintahan kolonial.
Pasar Srengat sendiri hingga kini tetap eksis dan menjadi pusat kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Di masa lalu, pasar ini juga menjadi tempat persinggahan kendaraan umum, dengan adanya stamflat (tempat pemberhentian penumpang) yang namanya diambil dari bahasa Belanda.
Pasar, Industri, dan Modernisasi ala Kolonial
Masa kolonial Belanda membawa perubahan besar dalam struktur ekonomi Blitar.
Setelah diberlakukannya Agrarische Wet dan Suiker Wet tahun 1870, banyak pengusaha Eropa masuk dan membuka perkebunan kopi, teh, dan karet.
Produk-produk ini kemudian dipasarkan melalui pasar-pasar rakyat di Blitar, yang menjadi simpul distribusi sebelum diekspor ke mancanegara.
Tak hanya itu, industrialisasi juga merambah ke Blitar.
Pabrik-pabrik seperti Bendoredjo di Ponggok, yang memproduksi karung goni dan tapioka, menjadi pusat industri raksasa pada awal abad ke-20.
Hasil-hasil industri ini, selain diekspor, juga dipasarkan di pasar-pasar lokal, memperkuat posisi Blitar sebagai pusat ekonomi regional.
Politik, Perlawanan, dan Peran Pasar dalam Perjuangan
Namun, masa kolonial bukan hanya soal ekonomi.
Pasar rakyat juga menjadi arena perlawanan dan solidaritas.
Ketika Jepang datang, dan kemudian saat Agresi Militer Belanda, para pedagang kecil di pasar menjadi penghubung penting bagi pejuang republik.
Mereka menyelundupkan makanan, pakaian, hingga informasi penting ke garis depan tanpa menarik perhatian musuh.
Banyak di antara mereka adalah perempuan tangguh yang menjual sayur ke kota sambil mengumpulkan data untuk pasukan republik.
Pasar bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi juga medan perjuangan.
Di masa-masa genting, para pedagang dan rakyat pasar berperan sebagai penyokong logistik dan moral bagi para pejuang kemerdekaan.
Kisah-kisah heroik ini jarang terdengar, tapi mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa di balik kemerdekaan Indonesia.
Transformasi Pasar Rakyat: Dari Masa ke Masa
Setelah kemerdekaan, pasar-pasar rakyat di Blitar terus berkembang.
Modernisasi memang datang, tapi nuansa perjuangannya tetap terasa.
Bangunan-bangunan kolonial, lorong-lorong sempit, dan kios-kios tua masih berdiri, berdampingan dengan toko-toko modern dan pusat perbelanjaan baru.
Namun, satu hal yang tak berubah, pasar rakyat tetap menjadi pusat kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Blitar.
Termasuk Kopi dari De Karanganjar yang tidak hanya menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar, tetapi juga didistribusikan ke pasar-pasar rakyat di Blitar.
Sehingga memperkuat peran pasar sebagai pusat distribusi hasil bumi yang menghubungkan tradisi masa kolonial dengan kehidupan ekonomi modern masyarakat Blitar hingga kini.