Sejak abad ke-17, Blitar mulai menarik perhatian kolonial Belanda sebagai kawasan yang kaya akan sumber daya alam.
Dari perkebunan kopi hingga teh, tanah subur ini menawarkan potensi ekonomi yang sangat menguntungkan bagi penjajah.
Seiring dengan berkembangnya infrastruktur dan sistem pertanian yang diterapkan oleh Belanda, masyarakat lokal terpaksa beradaptasi dengan cara hidup baru yang sering kali mengekang kebebasan mereka.
Perkembangan Awal dan Strategi Kolonial Belanda
Blitar pada awalnya merupakan bagian dari Kadipaten Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom pada abad ke-17.
Ketika Belanda mulai memperluas kekuasaannya di Nusantara, mereka melihat potensi Blitar sebagai pusat pertanian yang strategis.
Pada tahun 1824, Blitar secara resmi ditetapkan sebagai distrik di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Lokasi geografisnya yang menguntungkan membuat Blitar mudah dijangkau dan menjadi pusat perdagangan penting di Jawa Timur.
Pemerintah kolonial Belanda membangun infrastruktur penting seperti jalan raya dan jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan ekonomi mereka.
Salah satu pencapaian besar adalah pembangunan Stasiun Kereta Api Blitar pada tahun 1882, yang menghubungkan kota ini dengan kota-kota besar lainnya.
Selain itu, perkebunan tebu dan pabrik gula menjadi sektor utama ekonomi Blitar, meskipun sering kali disertai dengan eksploitasi tenaga kerja pribumi yang bekerja dengan upah rendah5.
Pengaruh Budaya dan Sosial
Kehadiran kolonial Belanda tidak hanya membawa perubahan ekonomi tetapi juga mempengaruhi aspek sosial dan budaya masyarakat Blitar.
Dalam upaya untuk meningkatkan pendidikan, Belanda mendirikan sekolah-sekolah yang awalnya hanya terbuka bagi anak-anak priyayi atau bangsawan lokal.
Namun, seiring waktu, semakin banyak anak-anak pribumi yang mendapatkan akses pendidikan.
Meskipun demikian, sistem pendidikan ini tetap mencerminkan hierarki sosial yang ada.
Perlawanan Terhadap Penjajahan
Masyarakat Blitar tidak tinggal diam menghadapi penindasan kolonial.
Berbagai bentuk perlawanan terjadi, baik secara terorganisir maupun sporadis.
Salah satu peristiwa penting adalah Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) pada tahun 1945 yang dipimpin oleh Supriyadi.
Meskipun pemberontakan ini tidak berhasil, semangat nasionalisme di kalangan pemuda PETA menunjukkan ketidakpuasan terhadap penjajahan Jepang dan menandai awal dari perjuangan kemerdekaan.
Peran Soekarno dan Kebangkitan Nasionalisme
Blitar juga memiliki tempat khusus dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Soekarno, proklamator kemerdekaan Indonesia, lahir di Blitar pada 6 Juni 1901.
Meskipun banyak menghabiskan masa kecilnya di Surabaya dan Bandung, kota ini tetap memiliki makna penting dalam kehidupannya.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Blitar menjadi pusat aktivitas politik dan intelektual yang melahirkan banyak pemimpin nasional.
Dampak Agresi Militer Belanda
Selama agresi militer Belanda I dan II setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, Blitar menjadi salah satu basis penting bagi para pejuang kemerdekaan.
Masyarakat setempat berperan aktif dalam mempertahankan wilayah mereka dengan melakukan aksi bumi hangus terhadap infrastruktur vital seperti pabrik gula dan gedung pemerintahan agar tidak jatuh ke tangan penjajah.
Tindakan ini mencerminkan semangat juang masyarakat Blitar untuk mempertahankan kemerdekaan.
Bangunan Bersejarah dan Cagar Budaya
Jejak-jejak kolonial masih dapat dilihat hingga kini melalui berbagai bangunan bersejarah yang ada di Blitar.
Salah satu contohnya adalah De Karanganjar Koffieplantage, sebuah perkebunan kopi yang didirikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1874.
Bangunan ini tidak hanya menjadi saksi bisu sejarah tetapi juga menarik perhatian wisatawan sebagai objek wisata sejarah.
Seperti halnya kegiatan outing class beberapa lembaga pendidikan negeri maupun swasta yang bertempat di De Karanganjar Koffieplantage.
Selain itu, terdapat pula berbagai bangunan lain seperti gereja-gereja tua dan rumah-rumah tinggal bergaya kolonial yang masih lestari hingga saat ini.
Keberadaan bangunan-bangunan ini memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat pada masa kolonial serta perkembangan arsitektur di Indonesia.
Meskipun sejarah kolonial sering kali dianggap kelam, pelestarian warisan sejarah ini sangat penting untuk memahami identitas bangsa.
Sejumlah lembaga pendidikan mulai mengintegrasikan sejarah lokal Blitar ke dalam kurikulum mereka untuk memberikan pemahaman lebih dalam kepada generasi muda tentang kontribusi daerah mereka terhadap sejarah nasional.