Di tengah kesibukan berpuasa dan beribadah, ada satu hal yang sering terlupakan: belajar sejarah.
Ya, Anda tidak salah baca! Sejarah, yang sering dianggap sebagai pelajaran membosankan di sekolah, sebenarnya menyimpan banyak kejutan menarik jika dipelajari dengan cara yang tepat.
Namun, bagaimana jika kita melompat kembali ke masa lalu, ketika kolonialisme Belanda masih menguasai Indonesia?
Pada masa itu, Ramadhan bukan hanya sekadar bulan suci bagi umat Islam, tetapi juga menjadi saksi bisu perjuangan dan perubahan sosial yang signifikan.
Ramadhan di Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda, yang berkuasa dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20, memiliki kebijakan yang unik terhadap praktik Islam, termasuk kebijakan di bulan Ramadhan.
Pemerintah kolonial Belanda awalnya memiliki sikap ambivalen terhadap Islam.
Di satu sisi, mereka membiarkan praktik Islam berjalan dengan relatif bebas, terutama dalam hal ibadah dan urusan keluarga.
Namun, di sisi lain, mereka berusaha untuk membatasi pengaruh Islam dalam hal politik dan sosial.
Salah satu tokoh penting yang mempengaruhi kebijakan ini adalah C. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam Belanda yang berperan dalam pembentukan kebijakan Islam di Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Snouck Hurgronje percaya bahwa Islam harus dipisahkan dari urusan negara dan politik.
Ia berpendapat bahwa pemerintah kolonial harus menghindari campur tangan dalam urusan agama, terutama dalam hal yang berkaitan dengan peningkatan kesadaran politik umat Islam.
Meskipun demikian, pemerintah kolonial tetap membiarkan praktik zakat dan ibadah lainnya berlangsung, tetapi dengan batasan tertentu untuk mencegah pengaruh politik yang lebih luas.
Selama masa kolonial, Ramadan menjadi momen penting bagi masyarakat Muslim di Indonesia.
Pemerintah kolonial Belanda, dalam rangka melaksanakan kebijakan “Ethical Policy” (Kebijakan Etis) yang dimulai pada awal abad ke-20, berusaha meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi.
Salah satu bentuk kebijakan ini adalah memberikan liburan sekolah selama bulan Ramadan.
Kebijakan ini bertujuan untuk memungkinkan anak-anak sekolah terlibat dalam kegiatan lain seperti pertanian dan kesehatan selama bulan suci tersebut.
Kebijakan ini juga mencerminkan upaya pemerintah kolonial untuk tidak mengganggu praktik agama Islam secara langsung.
Mereka memahami bahwa Islam memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat Jawa dan wilayah lain di Indonesia, sehingga membiarkan praktik Ramadan berjalan lancar dapat membantu menjaga stabilitas sosial.
Dampak Bagi Masyarakat
Ramadhan pada masa kolonial tidak hanya berdampak pada aspek spiritual, tetapi juga memiliki pengaruh sosial dan ekonomi yang signifikan.
Aspek Spiritual dan Sosial
Ramadhan menjadi momen penting bagi umat Islam untuk memperkuat iman dan melakukan amal-amal baik.
Selama bulan ini, masyarakat Muslim di Indonesia terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan seperti tarawih dan pengajian.
Kegiatan-kegiatan ini memperkuat ikatan komunitas dan memperdalam kesadaran spiritual.
Di samping itu, Ramadhan juga menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk mempererat hubungan keluarga dan sesama.
Tradisi seperti buka puasa bersama dan sahur menjadi momen penting untuk memperkuat ikatan sosial dan memperluas relasi.
Aspek Ekonomi
Selama Ramadhan, aktivitas ekonomi juga mengalami perubahan.
Banyak pedagang yang memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan penjualan makanan dan minuman khas Ramadan.
Pasar-pasar tradisional menjadi lebih ramai dengan penjualan makanan seperti martabak, kolak, dan kurma.
Kebijakan liburan sekolah selama Ramadan juga memberikan dampak ekonomi, karena anak-anak dan guru dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi seperti pertanian dan perdagangan.
Hal ini membantu meningkatkan produktivitas dan pendapatan keluarga selama bulan suci tersebut.
Perubahan Kebijakan Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kebijakan terhadap Ramadan mengalami perubahan signifikan.
Pemerintah baru Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, tidak mengganggu tradisi liburan sekolah selama Ramadan.
Namun, situasi ini berubah dengan munculnya Orde Baru di bawah Presiden Suharto.
Orde Baru dan Perubahan Kebijakan
Pada tahun 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengeluarkan keputusan untuk menghapus liburan sekolah selama bulan Ramadhan.
Kebijakan ini menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menganggap liburan tersebut penting untuk pendidikan agama anak-anak.
Daoed Joesoef berpendapat bahwa kebijakan liburan sekolah selama Ramadhan adalah warisan kolonial yang dapat menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia.
Ia percaya bahwa liburan panjang dapat membuat anak-anak tertinggal dalam hal pendidikan dibandingkan dengan negara lain.
Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan libur sekolah awal puasa yang berlangsung selama tujuh hari, dimulai dari tanggal 27 Februari hingga 5 Maret 2025.
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Bersama (SEB) yang dikeluarkan oleh tiga menteri, yaitu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.
Kebijakan libur awal puasa ini bertujuan untuk memfasilitasi siswa dalam mempersiapkan diri secara spiritual dan fisik menjelang bulan suci Ramadhan.
Selama libur, siswa diharapkan melaksanakan pembelajaran mandiri di rumah, tempat ibadah, atau masyarakat sesuai dengan penugasan dari sekolah atau madrasah masing-masing.
Kegiatan ini dirancang untuk memungkinkan siswa lebih fokus pada ibadah dan kegiatan spiritual selama bulan Ramadhan.
Ramadhan Camp di De Karanganjar Koffieplantage telah menjadi salah satu praktik baik yang menggabungkan pembelajaran agama dan sejarah dalam satu kegiatan yang menyenangkan dan edukatif.
Dengan mengambil lokasi di perkebunan kopi yang memiliki sejarah kolonial yang kaya, anak-anak tidak hanya memperdalam pengetahuan agama mereka, tetapi juga diperkenalkan secara langsung dengan sejarah kolonial dan budaya lokal.