Sudah pernah mendengar cerita tentang tokoh pahlawan kemerdekaan dari Blitar selain Soekarno dan Soepriadi?
Tokoh ini bahkan sempat dibuang ke ujung timur Indonesia karena keberaniannya melawan penjajah Belanda.
Dia adalah KH. Imam Bukhori, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Bestir, sosok ulama sufi yang tidak mendirikan Pondok Pesantren Maftahul Ulum di Jatinom, Blitar, sekaligus ulama yang menentang kolonialisme di Blitar.
Kisah hidupnya yang penuh tantangan dan perjuangan, termasuk pengasingan ke Pulau Banda Neira, menjadi saksi bisu kegigihan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Latar Belakang KH. Imam Bukhori
KH. Imam Bukhori lahir dengan nama Samsuri di Kaligintung, Yogyakarta, sekitar tahun 1823. Ayahnya, Muhammad Kahfi Ats Tsani, adalah seorang ulama ternama pada masa pemerintahan Hamengkubuwono III.
Masa kecil Samsuri berlangsung di tengah-tengah konflik besar yang dikenal sebagai Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada tahun 1825.
Perang ini memicu semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan membentuk karakter Samsuri yang kelak menjadi KH. Imam Bukhori.
Masa Pendidikan dan Dakwah
Sebagai putra ulama, Samsuri menggali ilmu agama dari ayahnya dan beberapa ulama besar lainnya. Meskipun detail tempat beliau menimba ilmu tidak sepenuhnya jelas, kehausan akan pengetahuan membawanya ke Mancanegara Wetan, sebutan masyarakat Mataram untuk Jawa Timur.
Setelah itu, KH. Imam Bukhori melanjutkan perjuangannya ke Jambewangi, Wlingi, di mana beliau mendirikan sebuah pesantren yang cukup besar.
Namun, sebelum pesantren itu berkembang lebih lanjut, KH. Imam Bukhori dipanggil oleh Paman Nyai Khadijah, yaitu KH. Irfan, untuk kembali ke Desa Jatinom dan membantu KH. Qomarudin dalam dakwah di sana.
Pendirian Pondok Pesantren Maftahul Ulum
Pada tahun 1883, KH. Imam Bukhori diberi sebidang tanah untuk membangun pusat pendidikan Islam yang dinamai Daarus Salaam, atau Kampung Damai.
Di atas tanah itu, beliau mendirikan sebuah masjid kecil dan beberapa pondok untuk menampung para santri.
Baru pada tahun 1923, KH. Imam Bukhori memimpin pembangunan Masjid dan pondokan yang lebih layak, yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Maftahul Ulum.
Di sinilah beliau mengabdikan dirinya untuk mengajarkan berbagai ilmu keislaman kepada para santri.
Peran dalam Serikat Islam
Pada tahun 1914, organisasi anti-penjajahan Serikat Islam (SI) mulai memasuki wilayah Blitar.
Melihat tujuan baik SI dalam memperjuangkan hak-hak umat Islam dan pribumi Indonesia, KH. Imam Bukhori bergabung dengan organisasi ini.
Beliau kemudian menjadi ketua SI cabang Blitar, yang membuatnya mendapat julukan ‘Mbah Bestir’, diambil dari kata ‘bestuur’ yang berarti ketua pengurus.
Bergabung dengan SI Merah
KH. Imam Bukhori memilih bergabung dengan SI Merah, yang sikap perlawanannya terhadap penjajahan Belanda lebih radikal.
Penangkapan beliau oleh pemerintah kolonial pada tahun 1928 menjadi sorotan media massa saat itu, menandai perjuangan dan keteguhan hati seorang ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Pengasingan ke Banda Neira
Setelah SI dibubarkan dan diganti dengan Serikat Rakyat (SR), KH. Imam Bukhori terlibat dalam rencana pemberontakan terhadap kolonial Belanda.
Namun, rencana ini gagal karena pihak Belanda melakukan penggrebekan di Pondok Jatinom. KH. Imam Bukhori beserta penghuni lainnya ditangkap dan diasingkan secara terpisah.
Beliau diasingkan ke Digul (Papua) dan kemudian dipindahkan ke Bandaneira (Maluku).
Putra beliau, K. Sofwan, dibuang ke Bandung, sementara sebagian santri lainnya dibuang ke Nusakambangan.
Kembali ke Jatinom
Setelah menjalani hukuman pengasingan selama 10 tahun di Pulau Banda Neira, KH. Imam Bukhori kembali ke Jatinom bersama rombongan pejuang perintis kemerdekaan Indonesia.
Di hari-hari tuanya, beliau kembali mengajar ilmu agama dan menghabiskan masa tuanya dengan mendekatkan diri pada Allah SWT.
Simbol Perlawanan
Sampai akhir hayatnya, KH. Imam Bukhori tetap kukuh menolak menggunakan piring keramik yang dianggapnya sebagai simbol kolonialisme Belanda.
Beliau selalu makan menggunakan piring batok kelapa sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya komitmen beliau melawan penjajahan sepanjang hidupnya
Haul KH. Imam Bukhori: Tradisi Ziarah Makam dan Mengenang Perjuangan
Setiap tahun, Pondok Pesantren Maftahul Ulum Jatinom Blitar menggelar acara haul untuk mengenang dan menghormati jasa KH. Imam Bukhori, pendiri pesantren tersebut.
Haul ini merupakan tradisi yang penting dalam kalender kegiatan pesantren dan masyarakat sekitar, sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan dan dedikasi beliau dalam menyebarkan agama Islam dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Haul KH. Imam Bukhori biasanya diadakan dalam bentuk ziarah makam, pengajian, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya.
Acara ini menjadi momen penting bagi para santri, alumni, dan masyarakat untuk mengingat kembali perjuangan dan pengorbanan KH. Imam Bukhori selama hidupnya.
Beliau dikenal sebagai ulama sufi dan pejuang kemerdekaan yang gigih melawan penjajahan Belanda, serta pendiri Pondok Pesantren Maftahul Ulum yang menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam di Jatinom, Blitar.
Dalam perjalanan sejarah yang panjang, Blitar tidak hanya menjadi saksi bisu perjuangan para ulama seperti KH. Imam Bukhori, tetapi juga menyimpan jejak peninggalan kolonialisme.
Salah satu contoh peninggalan tersebut adalah De Karanganjar Koffieplantage, perkebunan kopi tertua di Blitar yang didirikan pada tahun 1874 oleh pihak Belanda.
Di dalam kompleks ini, terdapat Roemah Lodji, sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai museum.
Roemah Lodji bukan hanya menjadi saksi bisu sejarah kolonial Belanda, tetapi juga terkait dengan perkumpulan Freemason.
Melalui keberadaan museum ini, pengunjung dapat memahami lebih dalam tentang sejarah kolonialisme di Indonesia dan bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat.
Dengan demikian, De Karanganjar Koffieplantage menjadi destinasi wisata edukatif untuk liburan bersama keluarga atau menjadi destinasi outing class.