Tahukah Anda?
Tak jauh dari hiruk pikuk keramaian Kota Blitar, berdiri kokoh sebuah legenda hidup yang masih eksis hingga saat ini.
Bukan candi megah peninggalan kerajaan, melainkan Langgar Gantung, sebuah masjid yang seolah melawan gravitasi dengan wujudnya yang “menggantung.”
Usia Langgar Gantung ini tak main-main, hampir dua abad ia menyaksikan lika-liku perkembangan Kota Blitar.
Lebih dari itu, Langgar Gantung menyimpan kisah heroik seorang pejuang dan jejak perjuangannya dalam menegakkan Islam di masa lampau.
Langgar itu diberi nama An Nur atau sering disebut Langgar Gantung yang beralamat di Jalan Kemuning Nomor 16 Kelurahan Plosokerep Kecamatan Sananwetan Kota Blitar.
Langgar tersebut bukan sekedar tempat ibadah biasa, melainkan saksi bisu sejarah perjuangan dan penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.
Didirikan pada tahun 1825 oleh Mbah Irodikoro, seorang prajurit pemberani di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, Langgar Gantung telah kokoh berdiri selama hampir dua abad.
Kisah di balik pendirian Langgar Gantung bermula dari masa Perang Diponegoro (1825-1830).
Ketika itu, Mbah Irodikoro, yang kala itu menjabat sebagai Bupati di wilayah Jawa Tengah, turut angkat senjata melawan penjajah Belanda.
Namun, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, para pejuang lainnya terpaksa berpencar dan bergerilya.
Termasuk Mbah Irodikoro yang akhirnya sampai di daerah Plosokerep, Kota Blitar.
Di sanalah, Mbah Irodikoro tak hanya mencari perlindungan, tetapi juga melihat peluang untuk melanjutkan perjuangannya dalam menyebarkan ajaran agama Islam.
Ia prihatin melihat kondisi masyarakat sekitar yang belum banyak mengenal Islam. Dengan semangat dakwah yang tinggi, beliau kemudian berinisiatif mendirikan Langgar An-Nur.
Tempat ini tak hanya difungsikan sebagai sarana ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan agama Islam bagi warga Plosokerep.
Arsitektur Langgar Gantung pun menjadi daya tarik tersendiri.
Berbeda dengan bangunan masjid pada umumnya, Langgar Gantung dibangun dengan konsep rumah panggung.
Alasannya, pada masa itu Plosokerep masih berupa hutan belantara dengan banyaknya hewan buas.
Konstruksinya memadukan kokohnya kayu jati untuk pilar dan lantai dengan keluwesan anyaman bambu pada dinding dan plafon.
Sentuhan gaya arsitektur rumah Jawa dengan model atap limasan semakin menambah keunikannya.
Meski telah melalui perjalanan waktu yang panjang, Langgar Gantung tetap terawat dengan baik.
Meski pernah dilakukan renovasi pada tahun 1995 dan 2023, namun sebagian besar bangunan masih asli seperti saat pertama kali dibangun.
Bagian yang direnovasi pun hanya pada elemen yang termakan usia, seperti atap dan plafon.
Uniknya, pada renovasi terakhir, bagian plafon yang sempat diganti triplek kembali diganti dengan anyaman bambu baru yang didatangkan khusus dari Tasikmalaya.
Hingga saat ini, Langgar Gantung terus menjalankan fungsinya sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan keagamaan.
Lantunan suara bedug, yang usianya sama dengan Langgar Gantung sendiri, masih setia memanggil warga untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Di bulan Ramadan, Langgar Gantung semakin semarak dengan shalat tarawih, tadarus ibu-ibu di pagi hari, dan tadarus para jamaah laki-laki di malam hari.
Langgar Gantung tak hanya menjadi tempat beribadah, tetapi juga menjadi ruang pemersatu dan pengingat jejak perjuangan para pendahulu dalam menyebarkan Islam di Kota Blitar.
Tak jauh dari Langgar Gantung, di Perkebunan Karanganjar, terdapat Petilasan Gadhung Melati.
Petilasan ini memiliki bentuk berupa batu nisan yang hingga kini belum diketahui identitas asli karena minimnya sumber primer yang menyertainya.
Ada beberapa versi mengenai asal-usul nama “Gadhung Melati.” Beberapa sumber menyebutnya sebagai tokoh laki-laki dan prajurit Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Blitar pasca Perang Jawa tahun 1825-1830.
Versi mitologi juga menggambarkan Gadhung Melati sebagai sosok perempuan mirip Nyi Roro Kidul.
Meskipun misterius, petilasan ini menjadi tempat diadakan berbagai aktivitas budaya oleh masyarakat setempat, sehingga menunjukkan bahwa situs tersebut tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga terus hidup dan berkembang sebagai bagian dari kehidupan sekitarnya.
Kedua situs sejarah ini tak hanya menjadi bukti sejarah, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi generasi penerus untuk terus menjaga dan melestarikan nilai-nilai Islam yang telah ditanamkan oleh para pendahulu dalam menyebarkan cahaya Islam di bumi Nusantara.