Kota yang bersejarah ini menyajikan kebahagiaan yang bisa dinikmati oleh semua orang, baik dalam keadaan sedih, senang, maupun bahagia.
Semua ini bisa ditemukan di Kota Blitar. Blitar adalah kota kecil yang terpencil, namun mampu memberikan ketenangan hati.
Tak heran jika banyak wisatawan atau orang dari luar kota berkunjung ke sini, baik untuk singgah sebentar maupun menetap selamanya.
Kota Blitar menawarkan berbagai kenikmatan, termasuk kuliner klasiknya yang terkenal dengan cita rasa manis yang khas.
Wajik adalah salah satu makanan tradisional yang sudah dikenal sejak era kerajaan Majapahit.
Fakta ini tercatat dalam Kitab Nawaruci atau Sang Hyang Tattwajnana, karya Empu Siwamurti yang ditulis antara tahun 1500-1619 M.
“Wajik kletik gula Jawa, luwih becik urip sing prasojo.”
Ungkapan dalam bahasa Jawa ini menyiratkan kebijaksanaan yang mendalam, menganjurkan kita untuk menjalani hidup yang sederhana dan tidak berlebihan.
Filosofi ini menggambarkan betapa luhur budaya Jawa, di mana bahkan makanan tradisional seperti wajik kletik yang manis dan sederhana dapat menjadi perantara untuk menyampaikan nasihat hidup.
Kehidupan yang bersahaja, jauh dari kemewahan yang berlebihan, dianggap lebih baik dan lebih bermakna. Ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada kekayaan materi, tetapi pada kedamaian dan kesederhanaan hati.
Melalui parikan ini, kita diingatkan akan pentingnya hidup dengan rendah hati dan mensyukuri apa yang kita miliki, menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang sederhana namun bermakna.
Wajik, terutama wajik kletik, merupakan makanan khas dari Blitar.
Meskipun wajik dapat ditemukan di berbagai daerah di Jawa, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, wajik kletik hanya dapat dijumpai di Blitar.
Perbedaan utama antara wajik biasa dan wajik kletik terletak pada campuran beras ketan yang masih agak mentah, yang memberikan sensasi ‘kletik-kletik’ saat dimakan.
Cara membuat wajik kletik hampir sama dengan wajik biasa, menggunakan beras ketan, gula Jawa, santan atau parutan kelapa.
Namun, pada wajik kletik, parutan kelapa yang digunakan berasal dari kelapa tua, dengan tambahan beras ketan yang masih setengah matang.
Setelah bahan-bahan dicampur dan dimasak hingga matang dan lengket, adonan ini dibungkus dengan klobot, yaitu pembungkus jagung yang sudah mengering dan biasanya disetrika terlebih dahulu agar mudah digunakan.
Wajik kletik sering disajikan dalam acara-acara seperti lamaran, pernikahan, dan selamatan.
Penyajian wajik dalam pernikahan memiliki makna filosofis, yaitu teksturnya yang lengket diharapkan mencerminkan pasangan yang menikah akan terus lengket dan langgeng.
Selain itu, wajik juga melambangkan kerukunan antara anggota masyarakat ketika disajikan dalam acara syukuran atau selamatan.
Tekstur wajik yang lengket mencerminkan perpaduan berbagai bahan yang diolah menjadi satu, melambangkan berbagai elemen masyarakat yang berbaur menjadi satu.
Jika wajik kletik memiliki nilai filosofis yang berkaitan dengan acara pernikahan, De Karanganjar Koffieplantage juga memiliki tradisi khas yang menjadi satu-satunya di dunia, yakni tradisi “Manten Kopi”.
“Manten Kopi” adalah sebuah ritual unik yang hanya ada di De Karanganjar Koffieplantage.
Dalam ritual ini, dua buah kopi yang sudah matang dan berwarna merah, yang satu disebut sebagai “ kopi lanang”, dan yang satu lagi disebut sebagai “ kopi wedhok”, akan “diijab qabulkan” dengan bacaan doa-doa berbahasa Jawa diiringi tembang langgam Jawa.
Prosesi ini dilakukan oleh puluhan karyawan Pabrik Kopi Karanganjar.
Setiap peserta mengenakan pakaian tradisional Jawa; sebuah kebaya untuk wanita dan luri (atasan tradisional bergaris), jarik (batik Jawa, biasanya berwarna coklat), dan blangkon untuk pria.
Beberapa cabang dipilih dengan hati-hati dan diletakkan di atas kain putih yang dibawa oleh wanita di depan.
Beberapa cabang memiliki kopi lanang (jantan) dan kopi wadhon (betina), yang disatukan di atas kain sebagai pasangan.
Setelah itu, mereka meletakkan persembahan di kaki pohon yang dipilih.
Ritual ini merupakan cara bagaimana mereka menunjukkan rasa terima kasih mereka untuk musim panen dan juga doa untuk panen yang melimpah.
Ritual ini juga merupakan bagian dari warisan budaya yang mereka lestarikan.