Kota Blitar, dengan pesona sejarah dan budayanya yang kaya, menyimpan kisah menarik tentang perkembangan agama Kristen pada masa kolonial Belanda.
Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara tak hanya membawa pengaruh dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga dalam ranah agama dan kepercayaan.
Proses penyebaran agama Kristen di Blitar tidak terlepas dari kebijakan kolonial Belanda yang memberikan kebebasan beragama kepada penduduk pribumi.
Namun, proses ini juga diwarnai dengan berbagai tantangan dan hambatan.
Para misionaris Belanda berupaya keras menyebarkan ajaran Kristen melalui berbagai cara, seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, dan pusat pelayanan sosial.
Salah satu peninggalan paling menonjol dari masa kolonial di Blitar adalah keberadaan gereja-gereja tua yang masih terawat dengan baik hingga kini.
Bangunan-bangunan ini tidak hanya memiliki nilai religius, tetapi juga nilai arsitektur yang tinggi.
Gaya arsitektur kolonial yang khas terlihat pada desain bangunan gereja, dengan perpaduan elemen Eropa dan lokal.
Salah satu bangunan yang menarik untuk dibahas adalah Gereja GPIB Eben Haezer.
Gereja yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 2 ini dimulai pembangunannya pada tahun 1932.
Menurut informasi pada sebuah plakat yang terpasang di dinding depan pintu masuk.
Prasasti dalam bahasa Belanda tersebut mencatat bahwa peletakan batu pertama dilakukan oleh W. van Hattem pada 9 Maret 1932.
Saat ini, gereja tersebut merupakan bagian dari Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB), yang merupakan salah satu institusi Kristen tertua di Indonesia.
Sejarah GPIB terkait erat dengan pendirian De Protestantse Kerk In Nederlands Indie pada tahun 1605 di Ambon, Maluku.
Pada tahun 1619, pusat administrasi De Protestantse Kerk In Nederlands Indie dipindahkan ke Batavia, mengikuti perpindahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari Ambon ke Batavia.
De Protestantse Kerk In Nederlands Indie mewarisi jemaat dari Portugis dan melayani wilayah yang mencakup Maluku, Minahasa, Kepulauan Sunda Kecil (sekarang Nusa Tenggara Timur, serta sebagian Nusa Tenggara Barat, terutama Pulau Sumbawa dan sebagian Lombok), serta Pulau Jawa, Sumatera, dan lainnya.
Seiring dengan meluasnya wilayah pelayanan, De Protestantse Kerk In Nederlands Indie menghadapi berbagai tantangan.
Pada tahun 1927, diputuskan bahwa meskipun gereja harus tetap bersatu, wilayah dengan kekhususan tertentu diberikan status mandiri untuk mengatur pelayanannya sendiri.
Dalam Sidang Sinode De Protestantse Kerk In Nederlands Indie tahun 1933, jemaat di Minahasa, Maluku, bekas wilayah Keresidenan Timor, dan pulau-pulau sekitarnya diberikan wewenang untuk menjadi gereja mandiri dalam persekutuan De Protestantse Kerk In Nederlands Indie.
Pada tahun 1934, jemaat di Minahasa didirikan sebagai gereja mandiri pertama dengan nama Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM).
Setahun kemudian, jemaat di Maluku didirikan sebagai gereja mandiri kedua dengan nama Gereja Protestan Maluku (GPM).
Setelah Perang Dunia II, pada tahun 1947, jemaat di wilayah Sunda Kecil didirikan sebagai gereja mandiri ketiga dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).
Sidang Sinode De Protestantse Kerk In Nederlands Indie yang diadakan di Buitenzorg (Bogor) menyetujui pembentukan gereja mandiri keempat untuk wilayah barat Indonesia.
Pada 31 Oktober 1948, dalam Ibadah Minggu Jemaat di “Willems Kerk” (sekarang Gereja Immanuel Jakarta), didirikan gereja mandiri keempat yang diberi nama De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesie (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat), berdasarkan Tata Gereja dan Peraturan Gereja yang diserahkan oleh proto-Sinode kepada Algemene Moderamen De Protestantse Kerk In Nederlands Indie (Badan Pekerja Umum Gereja Protestan di Indonesia).
Sebagai badan hukum, GPIB diatur berdasarkan:
- Staatsblad Hindia Belanda 156 Tahun 1927, tanggal 29 Juni 1925 tentang Peribadahan, yang mengatur Paguyuban-paguyuban Gereja sebagai Badan Hukum.
- Staatsblad Hindia Belanda 305 Tahun 1948, tanggal 31 Desember 1948 yang menetapkan Gereja sebagai bagian yang berdiri sendiri dari Gereja Protestan di Indonesia.
- Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia 70 Tahun 1969.
- UU No. 8 Tahun 1985 yang mencatat GPIB dalam Lembaran Negara sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan Departemen Agama Republik Indonesia No. 35 Tahun 1988, tanggal 6 Februari 1988 tentang Pernyataan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) sebagai Lembaga Keagamaan yang bersifat Gereja.
Selain gereja sebagai bukti adanya jejak kolonial di Blitar, di area Vredestuin De Karanganjar Koffieplantage yang selama ini menjadi arena outbound atau camping ground, terdapat satu makam tua yang disebut-sebut sebagai “Makam Tuan Smith”.
Makam ini menjadi bukti fisik dari keberadaan orang-orang Eropa di masa lalu.
Meski sudah tua dan terlupakan, makam ini masih terawat dengan baik dan menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik di De Karanganjar Koffieplantage.