Bayangkan, sebuah alat sederhana seperti pecut bisa menjadi simbol sejarah dan kebudayaan yang begitu kuat.
Pecut Samandiman adalah contoh dari pecut yang memiliki arti khusus.
Dalam kisah pewayangan, pecut ini merupakan senjata pamungkas milik Baladewa, adik Kresna, dan dikatakan memiliki kekuatan magis yang luar biasa, mampu menaklukkan musuh-musuh terkuat.
Di Blitar, pecut ini diyakini memiliki sejarah panjang dan merupakan bagian penting dari budaya masyarakat setempat.
Taman Pecut, yang tidak hanya menampilkan air mancur dan patung buatan manusia, juga menyimpan cerita-cerita mistis dan sejarah yang menarik, menjadi pertemuan antara keindahan dan kekuatan legenda dalam kemilau modernitas kota.
Nama “Taman Pecut” berasal dari sebuah patung di selatan Alun-alun Blitar.
Patung ini menggambarkan tangan yang kuat memegang pecut, dikelilingi oleh pancaran warna-warni air mancur yang memukau.
Menurut legenda, pecut ini adalah perwujudan dari Pecut Samandiman, pusaka yang digunakan oleh Bupati Blitar ketiga, KPH Sosrohadinegoro, yang diyakini mampu menahan lahar dari Gunung Kelud.
Pusaka ini melambangkan keberanian dan kekuatan dalam melindungi kota dari ancaman alam.
KPH Sosrohadinegoro, yang menggantikan KPW Warsokoesoemo setelah wafat pada 19 September 1896, dikenal cakap dan sakti sehingga dijuluki Kanjeng Jimat.
Dengan Pecut Samandiman, ia konon mampu mengusir lahar Gunung Kelud dengan sekali lecutan, di mana suara pecut tersebut menggelegar hingga ke angkasa dan membelah aliran lahar menjadi dua.
Menurut cerita yang disampaikan oleh keturunan Eyang Warsokoesoemo, Pecut Samandiman merupakan milik Kanjeng Jimat Bupati KPH Sosrohadinegoro.
Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa pecut tersebut milik Patih Djoyodigdo, Harmono, Juru Kunci Pasarean Pangeranan Blitar, tempat peristirahatan terakhir KPH Sosrohadinegoro, mempercayai bahwa pecut itu milik Kanjeng Jimat berdasarkan cerita keluarga.
Pada masa itu, Kabupaten Blitar berada di antara dua jalur aliran lahar Gunung Kelud: di timur ada Kali Putih dan di barat mulai dari Sumberasri, Kecamatan Nglegok hingga Bacem.
Setelah peristiwa lecutan Pecut Samandiman, aliran lahar terpecah lagi ke arah Udanawu dan Ponggok.
Namun, jejak pecut Samandiman hingga kini tidak diketahui. Fisik pecut tersebut tidak pernah ditemukan lagi.
Banyak yang mengatakan bahwa pecut Samandiman moksa setelah pemiliknya meninggal dunia.
Mantan Bupati Blitar Herry Nugroho, yang menjabat dari 2005 hingga 2016, menyatakan bahwa selama masa jabatannya ia tidak pernah melihat bentuk fisik pecut Samandiman dan memastikan bahwa pecut tersebut tidak ada di ruang pusaka Pendapa Agung Ronggo Hadi Negoro.
KPH Sosrohadinegoro dikenal sebagai bupati paling keramat dalam sejarah Kabupaten Blitar sejak 1830.
Pusaka pecut Samandiman didapatkan melalui laku tirakat yang berat, termasuk pantang bersetubuh dengan perempuan, yang membuatnya tidak menikah seumur hidup.
Meskipun fisik Pecut Samandiman mungkin telah lenyap, namun semangat dan kekuatan yang terkandung di dalamnya tetap hidup dalam ingatan masyarakat Blitar.
Selain Pecut Samandiman, Museum Noegroho yang terletak di De Karanganjar Koffieplantage bukan sekedar tempat penyimpanan benda-benda kuno, melainkan juga rumah bagi jiwa para leluhur.
Setiap pusaka yang tersimpan di sini adalah saksi bisu perjalanan panjang sejarah dan peradaban.
Seperti pusaka dari Jenderal Soedirman yang masih terawat dengan baik di sini.
Bagi para peneliti dan sejarawan, tempat ini adalah surga pengetahuan yang tak terbatas.
Dengan melakukan penelitian lebih lanjut, kita dapat menggali lebih dalam tentang sejarah dan budaya masyarakat Blitar dalam lingkup yang lebih luas.