Ditulis pada 31 Juli 2018
Oleh : Wima Brahmantya
Bule yang lagi ikutan main gamelan ini namanya Aleix dari Barcelona, Spanyol. Dia ikutan program pelatihan kopi selama dua minggu di Keboen Kopi Karanganjar.
Saya masih ingat di hari pertama kedatangannya dia nanya : “bagaimana bisa di Indonesia ini mayoritas Muslim? Bukankah seharusnya Buddhist seperti kebanyakan negara-negara Asia Tenggara?”
Saya bilang bahwa Indonesia ini negara kepulauan yang strategis, sehingga segala budaya dan agama bercampur di sini. Tidak hanya Islam, tapi Hindu, Buddha, Kristen, Konghucu dan agama-agama lokal juga bisa hidup berdampingan di sini.
Sore ini ketika dia menyaksikan grup karawitan binaan kami, sekali lagi dia terheran-heran dan bertanya :
“Apakah mereka ini Muslim semua? Mereka lebih terlihat sebagai orang Buddhist daripada Muslim?”
Entah apa yang dimaksud dengan “Buddhist” di sini, karena tidak ada satu pun anggota karawitan yang terlihat seperti bhiksu. Mungkin maksudnya mereka terlihat seperti orang-orang tradisional dari Asia pada umumnya, dan berbeda dengan citra “Muslim” di Eropa yang identik dengan Timur Tengah.
“Ya inilah Islam Indonesia. Kita bisa bertahan dengan identitas budaya kita sambil tetap menjadi Muslim. Di sini tidak ada permasalahan antara Islam dan tradisi lokal (dan seharusnya tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia, karena hanya orang sempit pikiran yang beranggapan bahwa budaya lokal itu pasti bertentangan dengan Islam). Menjadi Muslim di sini bukan berarti harus berpenampilan ala Arab (meskipun boleh-boleh saja, jangankan Arab mau berpenampilan seperti orang Eskimo juga halal kok, asal tahan keringat aja).”
Barangkali kurang lebih seperti itu juga makna “Islam Nusantara” yang dalam beberapa waktu ini jadi perdebatan sengit. Sebenarnya cukup klir kok penjelasan dari para ulama Nahdliyin bahwa “Islam Nusantara” itu bukan agama baru, melainkan “tradisi orang-orang Islam di Nusantara”, yang dalam banyak hal cukup berbeda dengan Muslim di Timur Tengah. Tapi ya secara akidah ya sama. Lha wong Tuhannya sama, nabinya sama, kitab sucinya sama, ibadahnya sama.
Trus apanya yang mau diributkan?
Atau jangan-jangan memang sengaja tutup kuping supaya tetap ribut?
Mudah-mudahan tidak