Ingat saat kecil ikut karnaval 17 Agustus? Pernahkah terpikir dari mana asal-usul tradisi meriah ini?
Jauh sebelum kemerdekaan, karnaval telah menjadi bagian dari peradaban manusia.
Yuk, kita cari tahu sejarahnya!
Karnaval awalnya merupakan festival musim semi Yunani untuk menghormati dewa anggur, Dionysus.
Bangsa Romawi kemudian mengadopsi tradisi yang sama, dengan mengadakan pesta untuk menghormati Bacchus, dewa anggur Romawi, dan Saturnalia.
Lalu darimanakah kehadiran karnaval di Indonesia?
Pada masa kini, karnaval tahunan bukanlah tradisi yang hanya dimiliki oleh Indonesia.
Negara-negara lain seperti Tiongkok, Jerman, Belanda, dan Brasil juga merayakan hari besar mereka dengan acara serupa yang dikenal sebagai “parade.”
Dalam konteks ini, kita akan menelusuri asal mula karnaval di Indonesia.
Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perayaan kemerdekaan mulai diselenggarakan.
Namun, antara tahun 1945 hingga 1949, ketika sekutu masih mendominasi, banyak perayaan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Sejarawan Rukardi mencatat bahwa sehari setelah proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta, ratusan orang melakukan iring-iringan di Jalan Pegangsaan Timur, dipimpin oleh seorang pemuda dengan celana pendek dan topi, yang membawa tongkat dengan bendera merah putih di ujungnya.
Sebuah spanduk bertuliskan “Sekali merdeka, tetap merdeka!” membentang di belakangnya. Parade ini disambut dengan hormat oleh Soekarno di halaman rumah nomor 56.
Iring-iringan pada 18 Agustus 1945 ini tercatat sebagai perayaan kemerdekaan pertama di Indonesia.
Menurut tulisan Rukardi di Majalah Pantja Raja pada 1 September 1946, perayaan kemerdekaan pertama tersebut dirayakan meriah oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Rumah-rumah dan gedung dihias dengan janur kuning dan dedaunan.
Bagi mereka yang berada di luar wilayah Republik, perayaan kemerdekaan pada 17 Agustus 1946 berlangsung dalam suasana tegang.
Di Jakarta, polisi dan tentara Inggris mencoba menghalangi perayaan di rumah Menteri Luar Negeri Sutan Sjahrir, namun warga berhasil mengadakan perayaan tersebut.
Esoknya, Tugu Peringatan Satu Tahun Republik Indonesia diresmikan di Pegangsaan Timur 56.
Kebebasan penuh untuk merayakan kemerdekaan baru terjadi setelah penyerahan kedaulatan RI pada 1949.
Pada peringatan HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1950, masyarakat merayakannya dengan gegap gempita dan terang-terangan.
Di Semarang, perayaan HUT RI berlangsung selama empat hari dengan berbagai acara, mulai dari rapat umum, pemutaran film, doa bersama, hingga pawai dan peresmian taman makam pahlawan.
Bahkan, warga Tionghoa ikut berpartisipasi dalam pawai dengan menampilkan kesenian liong samsi atau barongsai.
Meskipun pada tahun 1950 perayaan kemerdekaan sudah dilakukan secara terbuka, Indonesia belum memiliki tradisi karnaval seperti yang dikenal di negara-negara Barat atau Amerika Latin.
Perayaan seperti upacara kemerdekaan, festival lokal, dan tradisional seperti Sekaten di Yogyakarta atau Bubaran di Surakarta dapat dianggap sebagai bentuk awal dari karnaval.
Pada dekade 1950-an, perayaan di Indonesia lebih fokus pada tradisi, budaya, dan acara resmi.
Konsep karnaval yang melibatkan parade kostum dan pertunjukan besar baru berkembang pada akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21.
Pada tahun 2001, Festival Jember di Jawa Timur menjadi karnaval pertama yang menampilkan parade kostum, seni, dan budaya.
Diikuti oleh Carnival Jakarta pada tahun 2005, yang mengadopsi tradisi karnaval internasional.
Di era 2000-an, karnaval mulai dikenal sebagai sarana untuk mengenang perjuangan kemerdekaan, dengan parade kostum adat, pahlawan, dan tokoh legenda.
Seiring waktu, karnaval di Indonesia berubah menjadi pertunjukan yang menggabungkan berbagai budaya.
Pada dekade 2020-an, setelah pandemi COVID-19, karnaval di Indonesia mulai menampilkan sound system, kostum yang lebih beragam, dan bahkan tradisi saweran.
Namun, sayangnya, fenomena ini sering kali kehilangan esensi edukatif, yang seharusnya menjadi bagian dari tontonan untuk generasi mendatang.
De Karanganjar Koffieplantage sebagai salah satu destinasi pariwisata di Blitar yang masih menjaga nilai-nilai edukasi dalam sejarah turut memberikan sumbangsih dalam kegiatan karnaval di Desa Modangan beberapa waktu lalu.
Staf/karyawan menggunakan pakaian jadul dan property yang mendukung.
Hal ini dilakukan untuk menjaga perspektif masyarakat bahwa tidak semua karnaval yang dilaksanakan di masa sekarang selalu terkait dengan hal-hal negatif.