Mendengar Kota Blitar, selain identik dengan tokoh Bung Karno juga identik dengan sosok Supriyadi.
Jika Anda pernah membaca tentang sejarah pemberontakan PETA di Blitar, Anda pasti tidak asing dengan nama tersebut.
Seperti halnya ketika Anda melintasi kawasan sekitar TMP Kota Blitar, di seberang jalan Anda akan menjumpai sebuah monumen yang disebut Monumen Supriyadi.
Selain monumen, di kota ini terdapat sebuah bagian dari sejarah yang jarang terdengar oleh orang-orang dari luar Kota Blitar, yaitu Markas Tentara Pembela Tanah Air (PETA).
Berdasarkan sejarah, pada tahun 1942, setelah Jepang berhasil menduduki Kota Blitar, istilah Gementee Blitar berganti menjadi “Blitar Shi” yang diperkuat dengan peraturan hukum yang dikenal sebagai Osamu Seerai.
Saat itu, penjajah Jepang berupaya memanfaatkan retorika persaudaraan dengan bangsa Indonesia, namun saat itu masyarakat Kota Blitar terus mengalami kegelisahan.
Pada tanggal 14 Februari 1945, terjadi pemberontakan yang monumental, dipimpin oleh Shodanco Supriyadi, anggota PETA.
Pemberontakan ini merupakan respon terhadap penindasan yang dialami rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Jepang.
Sebelum aksi pemberontakan terjadi, Supriyadi dan rekan-rekannya berdiskusi dengan Ir. Soekarno, yang saat itu sedang berkunjung ke Ndalem Gebang.
Namun, Soekarno memilih untuk tetap memprioritaskan keberadaan pasukan PETA dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan.
Keberadaan Kawasan Markas Tentara PETA sebagai salah satu aset cagar budaya Kota Blitar semakin lama cenderung semakin memudar seiring dengan meningkatnya pembangunan kota untuk memenuhi kebutuhan sarana prasarana bagi kehidupan masyarakat.
Kawasan Markas Tentara PETA yang difungsikan sebagai kompleks pendidikan dalam perkembangannya lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan sarana pendidikan yang menempati kawasan tersebut.
Kawasan studi mulai terbentuk ketika tahun 1910, saat itu fungsi lahan kawasan sebagai kawasan pendidikan yaitu MULO.
Namun, fungsi lahan tersebut hanya bertahan hingga tahun 1942.
Berikut 5 bangunan eks-markas tentara PETA tersebut:
1.Kantor Perintis Kemerdekaan
Sebuah bangunan bersejarah yang awalnya berfungsi sebagai Kantor Administrasi MULO, sebelum kemudian menjadi pusat pengawasan Tentara PETA oleh Jepang.
Meskipun masih mempertahankan megahnya, bangunan ini mengalami kerusakan yang cukup signifikan, terutama setelah tahun 1942.
2.Bangunan SMKN 3 Blitar
Merupakan bagian integral dari kompleks ini, meliputi kantor kepala sekolah, kantor administrasi, gudang, dan beberapa bangunan lain yang kini tidak digunakan.
Bangunan-bangunan ini telah mengalami berbagai perubahan fungsi sejak awal didirikan, merefleksikan perjalanan sejarah kawasan tersebut hingga periode pendudukan Jepang.
3. Bangunan SMPN 3 Blitar
Bangunan ini awalnya digunakan sebagai ruang kelas pelajar MULO sebelum berubah menjadi kantor perkantoran Tentara PETA selama pendudukan Jepang.
Kini, bangunan ini berfungsi sebagai ruang kesiswaan SMP 3, menyimpan sejarah yang kaya dari masa lalu, terutama antara tahun 1910 hingga 1945.
4. Bangunan SMPN 5 Blitar
Dalam bangunan ini terdapat ruang kelas yang sejak awal digunakan untuk kegiatan belajar mengajar MULO dan kemudian menjadi perkantoran Markas Tentara PETA.
Bangunan ini menjadi saksi bisu dari perjalanan sejarah panjang kawasan ini, sejak awal abad ke-20 hingga masa pendudukan.
5. Bangunan SMPN 6 Blitar
Termasuk kantor kepala sekolah, ruang kelas, gudang, aula, dan kamar mandi.
Bangunan-bangunan ini telah mengalami perubahan fungsi sejak awal didirikan, mengikuti sejarah perkembangan kawasan tersebut yang mencakup masa pra-kemerdekaan hingga masa pendudukan Jepang.
Meskipun mengalami perubahan, keberadaan bangunan-bangunan ini tetap menjadi bagian penting dari identitas kota Blitar.
Jika menelusuri lebih luas, ada banyak sekali bangunan-bangunan peninggalan masa penjajahan yang tersebar di wilayah Blitar.
Selain kawasan eks-markas tentara PETA yang ada di kota Blitar, ada juga kawasan eks-perkebunan Belanda di Kabupaten Blitar yang masih berfungsi dan bangunannya terawat dengan baik hingga kini.
Perkebunan tersebut adalah Perkebunan Karanganjar atau yang lebih dikenal dengan De Karanganjar Koffieplantage yang letaknya di lereng Gunung Kelud.
Pengelolaan yang sudah mencapai tiga generasi ini, masih mampu mempertahankan nilai historis dari setiap bangunan peninggalan kolonial Belanda.
Seperti bangunan OG Cafe yang dulunya merupakan tempat penyimpanan hasil perkebunan atau gudang, begitu memasuki ruangannya Anda akan merasakan atmosfer sejarah yang kental yang didukung interior khas kolonial.
Kemudian ada Rumah Lodji, kantor, hingga pabrik pengolahan coffee yang masih bangunan asli belum dipugar mencerminkan identitas sejarah yang masih hidup hingga kini.
Pastikan ketika Anda berkunjung, untuk tidak lupa mengabadikan momen karena keseluruhan bangunan di De Karanganjar Koffieplantage sangat instagramable.