Berakhirnya Perang Diponegoro menandai awal baru bagi perjalanan sejarah Blitar, sebuah daerah di Jawa Timur yang merupakan bagian dari Keraton Kasunanan Surakarta.
Dengan pengambilalihan oleh Pemerintah Hindia Belanda, Blitar menjadi bagian dari wilayah kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial kemudian menunjuk Ronggo Hadi Negoro, seorang putra Surakarta, sebagai bupati pertama Kabupaten Blitar.
Saat ini, nama Ronggo Hadi Negoro lebih dikenal sebagai nama pendapa yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Blitar.
Pendapa Ronggo Hadi Negoro berfungsi sebagai tempat untuk menjamu tamu serta kegiatan resmi bupati dan juga sebagai rumah dinas bupati.
Nama pendapa ini diambil dari tokoh yang menciptakan fondasi pemerintahan Kabupaten Blitar yang ada sekarang, yaitu Raden Tumenggung Adipati Ronggo Hadi Negoro.
Menurut catatan sejarah, Kabupaten Blitar baru resmi terbentuk pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro, ketika Hindia Belanda melakukan penataan wilayah dengan menggabungkan Kabupaten Sarengat dan Kabupaten Hantang menjadi Kabupaten Blitar.
Ronggo Hadi Negoro dari Surakarta diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memimpin daerah ini.
Sebelum 1830, Blitar sebenarnya sudah memiliki struktur pemerintahan tradisional dengan pemimpin bergelar Panji, namun sistem ini sangat lemah sehingga memungkinkan Belanda untuk membentuk kelompok elite pribumi baru sesuai dengan kepentingan mereka.
Bupati pertama Blitar, Mas Bei Partowijoyo, hanya seorang anak dari bekel di Surakarta.
Pada masa itu, Blitar adalah wilayah yang terisolasi dan tertinggal dalam perkembangan kolonisasi di pedalaman Jawa.
Ronggo Hadi Negoro dikenal sebagai pionir dan tokoh berpengaruh di Kabupaten Blitar pada akhir abad ke-18.
Sebagai bupati, dia berhasil menjembatani kepentingan finansial Keraton Surakarta dengan kepentingan kaum pemodal Eropa.
Keberhasilannya dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya, termasuk mengelola sewa tanah kepada perkebunan Belanda, membuatnya banyak dipuji.
Meskipun Kabupaten Blitar resmi dibentuk pada 1863, Ronggo Hadi Negoro sudah berperan penting sejak penggabungan Kabupaten Sarengat dan Kabupaten Hantang pada tahun 1830.
Menurut Herry Setyabudi dalam bukunya Wong Blitar, Ronggo Hadi Negoro memainkan peran signifikan dalam sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan reformasi sektor perkebunan.
Selain dikenal sebagai bupati pertama Kabupaten Blitar, ada spekulasi mengenai latar belakangnya.
Kees Groeneboer, misalnya, mengemukakan bahwa Hadi Negoro berasal dari keluarga Arab atau Bengali dan awalnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di istana gubernur Raffles.
Groeneboer juga menyebutkan bahwa Hadi Negoro mungkin adalah anak haram dari Raja Surakarta yang dilahirkan oleh seorang wanita yang tidak dikenal.
Dalam konteks pengelolaan perkebunan, peran Ronggo Hadi Negoro sangat krusial, terutama terkait dengan pengelolaan De Karanganjar Koffieplantage.
Di bawah kepemimpinannya, Blitar mengalami transformasi signifikan dalam sektor perkebunan, yang merupakan bagian dari kebijakan kolonial Belanda dalam sistem tanam paksa dan liberalisasi.
Ronggo Hadi Negoro tidak hanya menjembatani kepentingan keuangan Keraton Surakarta dan pemodal Eropa, tetapi juga secara aktif terlibat dalam memfasilitasi pengelolaan dan ekspansi perkebunan coffee di Kabupaten Blitar.
Keberhasilannya dalam mengelola tanah untuk perkebunan Belanda, termasuk De Karanganjar Koffieplantage, mencerminkan kontribusinya yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah tersebut di era kolonial.
Comment 1
September 23, 2024 at 4:13 am
Tempat wisata yang bagus juga asri, dan bisa banyak belajar tentang sejarah dan budaya juga buat tambah ilmu dan pengetahuan