Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana mungkin sebuah kota kecil di Jawa, seperti Blitar, bisa memiliki jejak agama Katolik yang begitu kuat?
Di tengah dominasi budaya Jawa dan Islam, bagaimana agama Katolik bisa tumbuh subur dan berkembang?
Pada masa penjajahan, Pulau Jawa hanya memiliki satu prefektur pelayanan misi Katolik, yaitu Prefektur Apostolik Batavia, yang mencakup berbagai wilayah, termasuk Paroki Surabaya.
Pada tahun 1859, Prefektur Apostolik Batavia menugaskan 25 imam dari Serikat Yesus untuk melayani wilayah Paroki Surabaya.
Kemudian, pada tahun 1928, Paroki Surabaya diubah menjadi Prefektur Apostolik Surabaya yang mencakup tiga karesidenan: Rembang, Kediri, dan Surabaya.
Salah satu upaya misi yang dilakukan adalah pembangunan tempat ibadah dan lembaga pendukung, seperti institusi pendidikan dan kesehatan.
Blitar, yang kala itu bagian dari Karesidenan Kediri, menjadi salah satu wilayah perhatian misionaris Katolik.
Gereja Katolik Santo Yusuf Blitar dibangun untuk mendukung penyebaran agama Katolik di wilayah ini.
Dimulai pada tahun 1927, hanya ada tujuh penduduk pribumi yang beragama Katolik, berasal dari Jawa Tengah.
Mgr. Theophile de Backere CM dan Pastor Jan Wolters CM aktif melayani umat Katolik di Blitar, di mana sudah ada Sekolah HIS Yohanes Gabriel di Jalan Diponegoro No. 36.
Kunjungan rutin mereka kemudian mendorong pembangunan pastoran di Jalan Diponegoro No. 40, yang kini menjadi Pastoran Paroki Santo Yusuf. Pada awal 1928, Paroki Blitar resmi didirikan dengan Pastor A. Bastiaansen dan Pastor Jan Wolters CM sebagai pastor parokinya.
Misa awal diadakan di aula asrama sekolah di Jalan Diponegoro No. 40, dengan mayoritas umat adalah orang Belanda.
Pada Hari Raya Paskah, 20 April 1930, prasasti Gereja Santo Yusuf Blitar dipasang, dan peresmian gereja dipimpin langsung oleh Mgr. Theophile de Backere CM. Setelah proses pembangunan selesai, gereja diberkati pada 18 April 1931.
Selain tempat ibadah, bidang pendidikan juga menjadi sarana penting dalam misi Katolik di Blitar.
Pada 1 Juli 1926, HIS Yohanes Gabriel didirikan, yang menjadi cikal bakal SMA Katolik Diponegoro saat ini.
Sekolah ini awalnya didirikan untuk anak-anak pribumi elite, dengan bahasa pengantar Belanda.
Pada tahun 1927, asrama sekolah dan pastoran dibangun di lokasi tersebut, dengan dua imam, Rm. J. Wolters dan Rm. A. Bastiaansen, menetap di sana.
Peninggalan Kolonial Kristen Katolik di Kota Blitar
- Gereja Katolik Santo Yusuf
Gereja ini terletak di Kecamatan Sanan Wetan, Kota Blitar. Diresmikan pada 20 April 1930, gereja ini memiliki arsitektur Eropa klasik dengan elemen lengkung gotik, dinding tebal, dan jendela vitrum. - SMA Katolik Diponegoro
Awalnya HIS Yohanes Gabriel, sekolah ini memiliki arsitektur Kolonial Modern dengan denah simetris dan ruang kelas berjajar. Lokasinya dekat dengan gereja dan pastoran. - SMP Katolik Yohanes Gabriel
Awalnya difungsikan sebagai asrama, bangunan ini memiliki gaya arsitektur Kolonial Modern dengan ornamen vertikal dan horizontal. - Biara Santa Maria
Biara ini merupakan bangunan SSPS pertama di Blitar. Berbagai sekolah di bawah Yayasan Yoseph berdiri di sekitar biara ini, dengan gaya arsitektur Indische Empire. - SDK Santa Maria
Didirikan pada 1 Agustus 1927, SDK Santa Maria memiliki visi pendidikan inklusif tanpa diskriminasi. Bangunannya bergaya Kolonial Modern dengan kombinasi atap pelana dan perisai. - TK Santa Maria
TK ini berdiri sejak 1946 dan berafiliasi dengan Biara Roh Kudus. Bangunan ini juga bergaya Kolonial Modern dengan atap perisai dan pelana yang khas.
Selain meninggalkan jejak pada kehidupan beragama, kolonialisme juga membawa pengaruh besar pada perekonomian lokal.
Salah satu buktinya adalah keberadaan Perkebunan Karanganjar di Blitar, yang menjadi warisan penting dalam sektor agrikultur.
Perkebunan Karanganjar bukan hanya saksi bisu sejarah, tetapi juga simbol perjalanan masyarakat Blitar dalam merajut identitas di tengah dinamika zaman.