Tanggal 25 Desember 1943 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia, khususnya bagi masyarakat Blitar.
Pada hari itu, Batalion PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar dibentuk, menandai awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan mengubah wajah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pembentukan batalion ini bukan hanya sekadar langkah militer, tetapi juga merupakan simbol harapan bagi rakyat yang terjepit di bawah kekuasaan penjajahan Jepang.
Masyarakat Blitar, yang saat itu mengalami berbagai kesulitan akibat kebijakan Jepang, mulai melihat cahaya harapan melalui keberadaan PETA.
Latar Belakang Pembentukan PETA
PETA didirikan sebagai respons terhadap situasi sosial dan ekonomi yang semakin memburuk di Indonesia selama pendudukan Jepang.
Rakyat Indonesia, termasuk petani di Blitar, merasakan dampak langsung dari kebijakan Jepang yang menekan mereka dengan pajak tinggi dan kerja paksa (romusha).
Pada saat itu, banyak pria dewasa di Blitar yang sakit atau meninggal dunia akibat kondisi kerja yang keras, sehingga perempuan pun terpaksa menjadi romusha.
Kekecewaan ini memicu semangat nasionalisme di kalangan pemuda, yang kemudian tergabung dalam PETA.
Dibentuk pada 25 Desember 1943, batalion PETA di Blitar terdiri dari empat kompi (chudan) dan merupakan satu dari tiga batalion PETA di Karesidenan Kediri.
Para pemimpin lokal seperti Gatot Mangkupradja dan Sukarno berperan dalam usulan pendirian batalion ini.
Dengan pelatihan yang dilakukan di Bogor, anggota PETA dilatih untuk menjadi pasukan pertahanan wilayah menghadapi ancaman Sekutu.
Pemberontakan 14 Februari 1945
Puncak dari perjuangan Batalion PETA di Blitar terjadi pada tanggal 14 Februari 1945.
Dipimpin oleh Shodanco Supriyadi, pemberontakan ini direncanakan dengan matang dan dilakukan pada tengah malam tanggal 13 Februari.
Anggota PETA keluar dari markas dengan alasan melakukan latihan malam, namun sebenarnya mereka bersiap untuk melancarkan serangan terhadap pasukan Jepang.
Pada pukul 03.00 WIB, pasukan PETA menyerang Hotel Sakura, tempat tinggal para perwira Jepang, menggunakan mortir dan senapan mesin.
Serangan ini juga diarahkan ke markas Kempetai yang berdekatan dengan barak PETA. Dalam aksi tersebut, bendera merah putih dikibarkan sebagai simbol perjuangan kemerdekaan.
Namun, rencana pemberontakan ini tidak berjalan mulus; Jepang telah mendapatkan informasi tentang rencana tersebut dan segera mengerahkan pasukan untuk menanggapi serangan.
Reaksi Jepang dan Akibatnya
Jepang merespons pemberontakan dengan cepat dan brutal. Mereka mengerahkan pasukan dari Kediri dan Malang untuk mengepung Blitar.
Banyak anggota PETA ditangkap dan diadili oleh Mahkamah Militer Jepang.
Dari sekitar 360 orang yang terlibat dalam pemberontakan, banyak yang dihukum mati atau dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Soeprijadi sebagai pemimpin pemberontakan menghilang setelah peristiwa tersebut.
Keberadaannya tetap menjadi misteri hingga saat ini; ada yang menyebutkan bahwa ia gugur dalam pertempuran, sementara versi lain mengatakan ia berhasil melarikan diri dan bahkan sempat bertemu dengan Presiden Soekarno setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Dampak Jangka Panjang
Meskipun pemberontakan PETA di Blitar berakhir dengan kegagalan, peristiwa ini memiliki dampak signifikan terhadap semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Keberanian para anggota PETA untuk melawan penjajah memberikan inspirasi bagi gerakan-gerakan perlawanan lainnya di seluruh Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian mengakui pemberontakan ini sebagai bagian dari sejarah revolusi yang penting.
Pemberontakan ini juga memperlihatkan bagaimana ketidakpuasan terhadap perlakuan diskriminatif oleh tentara Jepang dapat memicu semangat nasionalisme di kalangan pemuda Indonesia.
Diskriminasi dalam struktur organisasi PETA sendiri—di mana prajurit Indonesia diwajibkan memberi hormat kepada tentara Jepang—menambah rasa frustrasi dan kemarahan yang ada.
Menghargai peristiwa sejarah dan peninggalannya adalah langkah penting dalam memahami identitas dan perjalanan bangsa.
Di Blitar, selain monumen PETA juga terdapat peninggalan berharga dari masa kolonial Belanda adalah de Karanganjar Koffieplantage, yang kini menjadi saksi bisu dari perjuangan rakyat Indonesia.
Banyak benda pusaka/senjata yang dipajang di Museum Noegroho mengabadikan semangat heroik para pejuang melalui koleksi yang menggambarkan peristiwa-peristiwa bersejarah.
Dengan mengunjungi tempat-tempat ini, kita tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga belajar dari pengalaman tersebut untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Setiap peninggalan sejarah seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya perjuangan dan pengorbanan generasi sebelumnya dalam meraih kemerdekaan.