Hayo, siapa di sini yang belum punya baju tradisional sejuta umat ini?
Yups, Surjan Lurik!
Apalagi yang warnanya coklat, pasti sudah nggak asing lagi dong dengan pakaian khas Jawa yang satu ini.
Tapi, tunggu dulu! Jangan cuma dipakai buat gaya-gayaan doang, karena Surjan Lurik ternyata menyimpan rahasia dan filosofi yang bikin kamu makin respect sama warisan nenek moyang kita.
Asal-usul dan Sejarah Surjan Lurik
Surjan berasal dari kata Arab “sirajan” yang berarti pelita atau cahaya yang menerangi, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al Ahzab ayat 46 dengan frasa “sirajan munira” yang berarti cahaya yang menyinari.
Sunan Kalijaga, tokoh dakwah Islam di Jawa, dipercaya sebagai pencipta Surjan untuk menyebarkan ajaran Islam melalui budaya lokal.
Surjan Lurik menggunakan kain lurik, yaitu kain tenun tradisional Jawa dengan motif garis-garis sejajar berwarna hitam, putih, atau cokelat.
Lurik sendiri berasal dari kata Jawa “lorek” yang berarti garis-garis, lambang kesederhanaan dan keseimbangan.
Kain lurik ini dipilih karena kuat, nyaman, dan mencerminkan filosofi hidup yang sederhana namun bermakna.
Makna Filosofi Motif Lurik pada Surjan
Motif lurik pada Surjan bukan sekadar hiasan. Garis-garis lurus yang sejajar melambangkan “furqan” atau pemisah antara kebaikan dan keburukan.
Ini mengingatkan pemakai Surjan untuk selalu membedakan mana yang benar dan salah, serta menjaga keseimbangan hidup.
Kesederhanaan motif lurik juga mencerminkan nilai hidup yang tidak berlebihan, mengajarkan agar manusia hidup dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan.
Motif lurik yang sederhana namun kuat ini menjadi simbol dari keteguhan hati dan pikiran yang menerangi jiwa, layaknya pelita dalam kegelapan.
Makna Kancing dan Struktur Surjan
Surjan memiliki struktur unik dengan kancing-kancing yang sarat makna.
Pada bagian leher depan terdapat tiga pasang kancing atau enam kancing yang melambangkan Rukun Iman dalam Islam.
Di bagian lengan kanan dan kiri terdapat lima kancing yang melambangkan Rukun Islam, sedangkan tiga kancing tersembunyi di dada melambangkan tiga nafsu yang harus dikendalikan manusia: Nafsu Bahimah (nafsu hewani), Nafsu Lauwamah (nafsu makan dan minum), dan Nafsu Syaithoniah (nafsu setan).
Struktur ini mengingatkan pemakai Surjan agar senantiasa menjaga iman dan mengendalikan hawa nafsu, menjadikan Surjan sebagai “baju takwa” yang mengikat pemakainya dengan nilai-nilai religius dan moral.
Surjan Lurik sebagai Simbol Kehidupan dan Dakwah
Lebih dari sekadar pakaian, Surjan Lurik adalah media dakwah Sunan Kalijaga yang menggabungkan nilai Islam dengan budaya Jawa.
Pakaian ini mengajarkan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi, antara jasmani dan rohani.
Sunan Kalijaga menciptakan Surjan di masa transisi Kerajaan Majapahit ke Mataram Islam, sebagai simbol perubahan sosial dan spiritual masyarakat Jawa.
Melalui Surjan, nilai-nilai Islam seperti kesederhanaan, keteguhan iman, dan pengendalian nafsu disampaikan secara halus dan estetis.
Surjan mengingatkan pemakainya untuk selalu hidup dalam cahaya kebaikan dan menjauhi keburukan, menjadikan pakaian ini sebagai pelita hati dan pikiran.
Fungsi dan Penggunaan Surjan Lurik
Surjan Lurik digunakan dalam berbagai kesempatan, mulai dari acara adat, pernikahan, hingga kegiatan formal dan non-formal.
Karena makna filosofisnya yang dalam, Surjan tidak hanya dipandang sebagai pakaian tradisional, tapi juga sebagai simbol identitas budaya dan religiusitas masyarakat Jawa.
Surjan Lurik juga menjadi lambang kebanggaan dan penghormatan terhadap warisan leluhur, sekaligus pengingat agar nilai-nilai luhur terus dijaga dan dilestarikan.
Surjan Lurik bukan hanya sekadar baju tradisional yang dipakai untuk acara keluarga atau adat saja. Pakaian ini sering terlihat dikenakan pada berbagai event penting, mulai dari kegiatan pendidikan, pemerintahan, hingga acara kebudayaan yang sarat makna.
Misalnya, di lingkungan pendidikan, guru dan siswa kerap memakai Surjan Lurik pada hari-hari tertentu sebagai bentuk pelestarian budaya Jawa.
Di pemerintahan, Surjan juga menjadi pilihan utama dalam berbagai upacara resmi, termasuk peringatan hari kemerdekaan Indonesia, di mana para pejabat dan staf mengenakan Surjan lengkap dengan blangkon sebagai simbol identitas dan kebanggaan budaya.
Tidak kalah menarik, di tempat wisata dan kebudayaan seperti de Karanganjar Koffieplantage di Blitar, Surjan Lurik menjadi bagian dari pengalaman budaya yang ditawarkan.
Di sana, staf hingga tamu undangan sering terlihat mengenakan Surjan Lurik lengkap dengan blangkon dalam berbagai event, mulai dari perayaan hari kemerdekaan hingga acara kebudayaan lainnya.
Bahkan, pemandu wisata yang fasih berbahasa Jawa kromo inggil mengenakan Surjan sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan identitas lokal.
Hal ini menunjukkan betapa Surjan Lurik tidak hanya menjadi pakaian adat, tapi juga media hidup yang menghubungkan masa lalu dan masa kini dalam berbagai lapisan masyarakat.