Sering disebut sebagai Bumi Bung Karno, Blitar memiliki kekayaan sejarah yang begitu melekat, namun tidak hanya sejarah yang membuat kota ini istimewa.
Di balik itu, Blitar juga menyimpan nilai-nilai budaya lokal yang sangat berharga. Salah satu warisan budaya yang terus terpelihara dan sarat makna adalah kesenian jaranan.
Kesenian ini tidak hanya menjadi bentuk hiburan bagi masyarakat, tetapi juga memuat cerita dan simbolisme yang mendalam, mencerminkan sejarah serta tradisi panjang yang dijaga oleh masyarakat Blitar.
Kesenian jaranan secara umum dikenal dengan narasi tentang prajurit pemberani yang menunggang kuda.
Namun, pandangan ini mengalami pergeseran dalam karya Soenarto Timoer berjudul “Reog di Jawa Timur.”
Dalam buku tersebut, penari jaranan tidak lagi digambarkan sebagai prajurit yang mengendalikan kuda, melainkan mereka menjadi representasi dari kuda itu sendiri.
Transformasi ini menggambarkan kekayaan makna simbolis dari kesenian jaranan.
Pada masa kolonial, kuda merupakan simbol kekuasaan dan dominasi penjajah Belanda.
Sistem sosial kolonial mengatur bahwa hanya kalangan tertentu yang diperbolehkan menunggang kuda, sehingga rakyat kecil yang menunggangi kuda akan dianggap melakukan perlawanan.
Untuk menghindari kecurigaan dari pihak Belanda, masyarakat lokal menggunakan kesenian jaranan sebagai bentuk tipu muslihat.
Melalui pertunjukan ini, mereka dapat mengungkapkan ekspresi perlawanan secara tersirat tanpa menimbulkan kecurigaan pihak penjajah.
Kesenian jaranan terus berkembang dengan berbagai aliran dan gaya yang berbeda. Aliran-aliran ini diwariskan secara turun-temurun oleh para seniman, bukan berdasarkan aturan baku seperti yang ada dalam kesenian keraton, tetapi lebih pada kesepakatan di antara komunitas seniman.
Nilai-nilai yang ada dalam jaranan mencerminkan kreativitas masyarakat dalam menjaga dan melestarikan tradisi budaya.
Dusun Sanan di Blitar memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan kesenian jaranan ini. Awalnya, dusun ini merupakan hutan belantara yang kemudian dibuka oleh Mbah Kento Surowijoyo bersama sembilan priyayi Mataram.
Mereka tidak hanya membangun pemukiman, tetapi juga meletakkan dasar-dasar budaya yang kelak berkembang di dusun tersebut, termasuk kesenian Jaranan Mataraman.
Kesenian ini memiliki makna simbolis yang kuat, mengajarkan pentingnya menjaga sumber air sebagai bagian dari kearifan lokal yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Selain itu, Jaranan Mataraman juga berperan dalam memperkuat kerukunan masyarakat. Pertunjukan ini menyatukan warga melalui nilai-nilai kolektif dan spiritual yang ditanamkan dalam setiap gerakan tarinya.
Kesenian ini menjadi bagian penting dari identitas budaya dan warisan tak benda masyarakat Dusun Sanan di Kota Blitar.
Salah satu elemen penting dalam kesenian ini adalah pakem kostumnya yang unik. Setiap elemen kostum melambangkan karakter dan status sosial dalam cerita yang disampaikan.
Kostum tersebut terdiri dari blangkon jogja, lurik, selempang, celana kombor kethok bumbung, jarik motif parang barong, kaos motif Sakera, dan centing bergagang hitam.
Keunikan kostum ini memperkuat keterkaitan kesenian Jaranan Mataraman dengan sejarah prajurit Mataram, seperti yang divisualisasikan dalam buku “The History of Java” karya Thomas Stamford Raffles.
Hal ini menunjukkan bahwa kesenian jaranan tidak hanya sebuah pertunjukan seni, tetapi juga medium untuk mengekspresikan sejarah dan identitas masyarakat.
Selain itu, kesenian ini juga merefleksikan kepercayaan abangan yang diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya “Religion of Java.”
Di Dusun Sanan, kepercayaan ini masih hidup melalui ritual dan tradisi yang diwariskan turun-temurun.
Sebelum pertunjukan jaranan dimulai, ada serangkaian ritual yang harus dilakukan. Ritual ini tidak hanya sekadar menunjukkan unsur mistisisme, tetapi juga menjadi sarana untuk mengajarkan kearifan lokal.
Sesaji yang dipersembahkan memiliki simbolisme mendalam, mencerminkan hubungan antara manusia, alam, dan roh leluhur.
Komposisi sesaji yang digunakan dalam ritual mencakup berbagai bahan, seperti candu, kembang telon wangi, merang, menyan, rokok klobot, serta ayam dan dawet sebagai suguhan.
Sesaji ini kemudian dipersembahkan kepada danyang, roh leluhur yang dipercaya bersemayam di tempat-tempat sakral, seperti Sumber Sanan, yang menjadi mata air utama di dusun tersebut.
Kepercayaan kepada danyang merupakan bagian penting dari identitas budaya masyarakat Dusun Sanan.
Para peneliti seperti Clifford Geertz dan John Pemberton telah mengamati dan mendokumentasikan fenomena ini dalam studi mereka tentang budaya Jawa.
Danyang dianggap sebagai penjaga sumber air, dan kepercayaan ini menjadi bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Masyarakat Dusun Sanan percaya bahwa sumber air yang menjadi sumber kehidupan harus dihormati dan dijaga dengan baik.
Lebih dari sekadar tarian, Jaranan Mataraman adalah simbol kuat dari nilai-nilai moral, sejarah, dan identitas budaya.
Gerakan-gerakan dalam pertunjukan ini mencerminkan babad atau sejarah pendirian Dusun Sanan, serta aspek animisme dan dinamisme yang masih terasa dalam kepercayaan abangan.
Meskipun kesenian ini awalnya merupakan latihan perang prajurit Mataram, seiring waktu, Jaranan Mataraman juga berkembang menjadi bentuk seni tari yang kompleks dan sarat makna.
Meskipun tidak menampilkan cerita panji seperti jaranan pada umumnya, Jaranan Mataraman tetap mempertahankan pakem Mataram dalam pertunjukannya.
Keunikan inilah yang menjadikan kesenian ini layak diakui sebagai warisan budaya tak benda. Dengan perpaduan unsur sakral dan hiburan, Jaranan Mataraman menciptakan pengalaman yang berbeda dari kesenian jaranan lainnya.
Hubungan yang kuat dengan sejarah dan tradisi lokal membuat kesenian ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keberagaman budaya yang ada di Blitar.
Melalui Jaranan Mataraman, kita diajarkan tentang pentingnya menjaga dan melestarikan kekayaan budaya yang dimiliki.
Kesenian ini bukan hanya bagian dari hiburan, tetapi juga warisan budaya yang harus kita hargai dan jaga sebagai bagian dari identitas kita.
Dengan demikian, Jaranan Mataraman terus menjadi simbol kuat dari kekayaan budaya lokal yang tak ternilai harganya.
Selain jaranan mataraman, terdapat acara kebudayaan di De Karanganjar Koffieplantage, yang bukan hanya sekadar hiburan, melainkan refleksi dari perjalanan panjang sejarah dan identitas masyarakat Blitar.
Beragam event seperti manten coffee, coffee peace de karanganjar, dan event-event lainnya.
Dengan memadukan unsur sakral dan hiburan, pertunjukan ini bukan hanya menghadirkan daya tarik unik bagi wisatawan, tetapi juga menegaskan peran budaya dalam merawat harmoni dan kerukunan di masyarakat.