Kisah cinta segitiga? Udah mainstream!
Ini ada kisah cinta… antara Blitar, Banda Neira, dan semangat perjuangan!
3 ulama Blitar ini diasingkan ke Banda Neira, tapi mereka nggak nyerah.
Mereka terus berjuang, menginspirasi, dan bikin kita semua terharu!
Di antara tokoh-tokoh yang berperan penting dalam pergerakan nasional, terdapat tiga ulama asal Blitar yang diasingkan ke Banda Neira, sebuah pulau di Maluku.
Siapakah mereka, dan mengapa mereka diasingkan?
Jejak apa yang ditinggalkan para ulama Blitar ini di Banda Neira?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebuah tim ekspedisi yang beranggotakan 12 orang dari Blitar melakukan perjalanan napak tilas ke Banda Neira pada tahun 2021.
Ekspedisi ini bertujuan untuk menelusuri jejak perjuangan ulama Blitar yang diasingkan Belanda ke pulau tersebut.
Latar Belakang Sejarah
Pada awal abad ke-20, organisasi Sarekat Islam (SI) menjadi salah satu kekuatan penting dalam pergerakan nasional Indonesia.
SI didirikan pada tahun 1912 dengan tujuan memperjuangkan hak-hak umat Islam dan pribumi Indonesia.
Di Blitar, SI memiliki cabang yang cukup kuat, dengan Kiai Mohammad Imam Bukhori sebagai ketuanya.
Kiai Imam Bukhori adalah seorang ulama kharismatik yang mendirikan Pondok Pesantren Jatinom di Kanigoro, Blitar.
Selain aktif dalam kegiatan dakwah, Kiai Imam Bukhori juga aktif dalam organisasi SI.
Pondok pesantrennya menjadi pusat kegiatan SI di Blitar.
Namun, pada tahun 1920-an, SI mengalami perpecahan menjadi dua kubu, yaitu SI Putih yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto dan SI Merah yang dipimpin oleh Semaun.
SI Merah cenderung lebih radikal danFront berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda menuding SI Merah akan melakukan pemberontakan.
Sebagai akibatnya, pemerintah kolonial Belanda menangkap dan mengasingkan sejumlah tokoh SI Merah, termasuk Kiai Imam Bukhori.
Tiga Ulama Blitar di Banda Neira
Terdapat tiga ulama Blitar yang diasingkan ke Banda Neira, yaitu Kiai Imam Bukhori, Kiai Abdullah Faqih, dan Kiai Shofwan.
Kiai Imam Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih adalah tokoh SI Blitar, sedangkan Kiai Shofwan adalah putra Kiai Imam Bukhori.
Kiai Shofwan menyusul ayahnya ke Banda Neira pada tahun 1931 karena alasan usia Kiai Imam Bukhori yang sudah lanjut.
Menurut Des Alwi dalam buku “Sejarah Banda Naira”, Kiai Muhammad Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih adalah dua anggota Sarekat Islam yang dibuang ke Banda Neira setelah pemberontakan yang gagal melawan Belanda pada tahun 1926.
Di Banda Neira, Kiai Imam Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih bertemu dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri.
Mereka menjalin persahabatan dan saling bertukar pikiran tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Des Alwi mencatat bahwa Kiai Imam Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih membuatkan rak buku untuk Tjipto Mangunkusumo.
Kiai Imam Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih dikenal sebagai sosok yang sederhana dan rajin beribadah.
Mereka juga aktif melakukan syiar Islam di Banda Neira.
Jejak yang Ditinggalkan
Meskipun diasingkan, Kiai Imam Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih tetap memberikan kontribusi bagi masyarakat Banda Neira.
Mereka mengajarkan agama Islam, membantu masyarakat yang membutuhkan, dan memberikan semangat perjuangan.
Untuk mengenang tempat pengasingannya, Kiai Imam Bukhori membawa enam pasang bibit pohon pala dari Banda Neira.
Sepasang bibit pala ditanam di Istana Gebang Blitar (Rumah Bung Karno), sepasang ditanam di rumah kerabatnya, dan sepasang lagi ditanam di pelataran pesantrennya.
Hingga saat ini, pohon pala tersebut masih ada dan menjadi bagian dari logo pesantren.
Nama Kiai Imam Bukhori dan Kiai Abdullah Faqih juga diabadikan di Monumen Parigirante di Banda Neira.
Nama mereka tertulis bersama dengan nama para pendiri bangsa lainnya.
Pengaruh Ekspedisi Banda Neira
Ekspedisi Banda Neira yang dilakukan oleh tim dari Blitar ini memiliki sejumlah pengaruh positif.
Pertama, ekspedisi ini berhasil mengungkap kembali sejarah perjuangan ulama Blitar yang selama ini kurang dikenal.
Kedua, ekspedisi ini mempererat hubungan antara masyarakat Blitar dan masyarakat Banda Neira.
Ketiga, ekspedisi ini menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus berjuang demi kemajuan bangsa dan negara.
Jejak perjuangan para ulama Blitar ini ternyata memiliki benang merah dengan peninggalan kolonial yang masih kokoh berdiri hingga kini, yakni De Karanganjar Koffieplantage.
Dulu, di masa jayanya, perkebunan coffee yang didirikan sejak tahun 1874 ini menjadi simbol kekuasaan Belanda di Blitar, menghasilkan pundi-pundi keuntungan dari hasil bumi Nusantara.
Kini, De Karanganjar telah bertransformasi.
Bukan lagi sekadar perkebunan coffee biasa, melainkan sebuah pusat penelitian sejarah dan destinasi wisata yang mendunia.
Di antara bangunan-bangunan kuno bergaya Indische Empire yang masih terawat apik, kita bisa merenungkan bagaimana sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk pengasingan ulama Blitar ke Banda Neira, tak bisa dilepaskan dari era kolonialisme yang begitu panjang dan membekas di tanah air tercinta.