Tahukah kamu, di mana bendera merah putih pertama kali dikibarkan di tanah Jawa sebelum proklamasi kemerdekaan?
Jawabannya akan mengejutkanmu!
Sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, bendera merah putih ternyata sudah lebih dulu berkibar di Kota Blitar, tepatnya enam bulan sebelum proklamasi kemerdekaan.
Peristiwa bersejarah ini berlangsung di Monumen Potlot, yang berada di area Taman Makam Pahlawan (TMP) Raden Wijaya, Blitar.
Meskipun lokasinya berada di bagian paling belakang dari kompleks makam, Monumen Potlot tetap menarik perhatian dengan bentuknya yang runcing menjulang menyerupai ujung pensil, menjadi titik fokus bagi siapa saja yang memasuki area makam tersebut.
Monumen Potlot memiliki nilai sejarah yang dalam, sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Blitar, Bambang In Mardiono, dalam bukunya “Bunga Rampai Sejarah Blitar”.
Nama “Potlot” dipilih sebagai simbol perlawanan karena sebagian besar pejuang PETA (Pembela Tanah Air) yang terlibat dalam pemberontakan di Blitar adalah para pelajar muda berusia 14 hingga 16 tahun.
Istilah “Potlot” atau “pulpen” erat kaitannya dengan alat tulis yang identik dengan dunia pelajar pada masa itu.
Walaupun masih sangat muda, para pejuang ini tergerak untuk berjuang demi kemerdekaan bangsa mereka, bahkan dengan risiko besar yang mereka hadapi.
Peristiwa pengibaran Sang Saka Merah Putih di Blitar ini merupakan bagian dari rangkaian sejarah pemberontakan PETA Blitar.
Momen heroik ini terjadi tepat pada pukul 03.30 WIB, tanggal 14 Februari 1945.
Pada saat itu, Sudanco Parto Hardjono, salah seorang anggota PETA Blitar, dengan penuh keberanian mengibarkan bendera merah putih pada tiang bendera yang terletak di Lapangan Bendogerit, Blitar.
Lapangan ini merupakan tempat biasa bagi tentara pelajar untuk berlatih, yang awalnya digunakan oleh Jepang untuk menghadapi ancaman dari pasukan Sekutu.
Biasanya, setiap pagi pukul 06.30 WIB, tiang tersebut digunakan untuk mengibarkan bendera Hinomaru milik Jepang.
Namun, dalam momentum pemberontakan ini, bendera merah putih berkibar gagah selama tiga jam di tiang tersebut, sebelum akhirnya pemberontakan dipadamkan oleh pasukan Jepang.
Meskipun pemberontakan PETA di Blitar pada akhirnya gagal, namun peristiwa ini tidak bisa dianggap sia-sia.
Pengibaran bendera merah putih selama tiga jam tersebut berhasil menyulut semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
PETA sendiri memiliki peran yang signifikan dalam sejarah Indonesia, termasuk dalam peristiwa Rengasdengklok menjelang proklamasi kemerdekaan.
Selain itu, PETA juga dikenal sebagai cikal bakal berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pemberontakan PETA di Blitar menjadi manifestasi dari cinta tanah air yang ditunjukkan oleh generasi muda Indonesia melalui perlawanan bersenjata terhadap penjajah Jepang.
Shodanco Suprijadi, yang saat itu berusia 22 tahun dan menjabat sebagai komandan pasukan, memimpin pemberontakan ini sebagai wujud dari kemarahan dan kekecewaan terhadap kekejaman Jepang, terutama terkait dengan kerja paksa (Romusha) yang menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat Indonesia.
Cinta tanah air yang ditunjukkan oleh para pejuang PETA ini bukanlah sekadar ungkapan kata-kata, melainkan diwujudkan melalui tindakan nyata.
Perjuangan mereka tidak hanya terfokus pada perlawanan fisik, tetapi juga merupakan bukti dari cinta mereka kepada tanah air yang melampaui kepentingan pribadi.
Pemberontakan PETA pada 14 Februari 1945 menjadi salah satu contoh nyata bagaimana cinta kepada tanah air dapat menginspirasi tindakan heroik, yang kini menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan Indonesia.
Monumen Potlot yang dibangun untuk mengenang peristiwa ini diresmikan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman pada tahun 1946.
Meskipun Monumen Potlot kini berada di bagian belakang Taman Makam Pahlawan Raden Wijaya dan kurang terlihat dari luar, keberadaannya tetap memiliki makna yang mendalam sebagai saksi bisu sejarah perjuangan bangsa.
Sayangnya, kondisi Monumen Potlot saat ini terkesan kurang terawat, dengan beberapa huruf di monumen yang sudah lepas.
Jika diberikan akses yang lebih mudah dan dipisahkan dari akses utama Taman Makam Pahlawan.
Monumen Potlot memiliki potensi untuk menjadi salah satu tujuan wisata sejarah yang penting di Blitar, terutama mengingat kaitannya dengan Monumen PETA yang ada saat ini.
Keberadaan Monumen Potlot ini seharusnya tidak tergerus oleh arus modernisasi yang bisa membuatnya terlupakan.
Sebaliknya, monumen ini harus terus dijaga sebagai bukti nyata cinta terhadap tanah air, serta pengingat akan perjuangan yang pernah dilakukan oleh para pejuang bangsa dalam merebut kemerdekaan.
Sebagai penutup, hal ini mengajak kita semua, terutama generasi muda Indonesia, untuk merenungkan apa yang telah kita lakukan dan berikan kepada tanah air sebagai wujud cinta kepada Indonesia.
Shodanco Suprijadi dan pemberontakan PETA telah memberikan contoh nyata dan bukti cinta tanah air yang dapat kita jadikan sebagai teladan dalam berbagai bidang kehidupan di era globalisasi ini.
Cinta tanah air bukan hanya tentang berperang dan mengangkat senjata, tetapi juga tentang bagaimana kita berkontribusi dalam pembangunan bangsa melalui berbagai bidang kehidupan, memastikan bahwa semangat perjuangan para pendahulu tetap hidup dalam tindakan kita sehari-hari.
Seperti bendera merah putih yang pertama kali berkibar di Blitar sebagai simbol perjuangan untuk kemerdekaan,
Kebun Coffee Karanganjar di Nglegok, Blitar, juga mencerminkan semangat yang sama dalam bentuk yang berbeda.
Didirikan pada masa kolonial, kebun coffee ini telah bertahan melalui berbagai periode sejarah, termasuk masa penjajahan dan revolusi.
Kini, di bawah naungan pohon-pohon coffee tua, proses produksi coffee dengan ekstrak buah yang unik di Karanganyar tidak hanya menghadirkan cita rasa yang khas, tetapi juga menjadi bukti bagaimana semangat kemerdekaan tetap hidup dalam setiap langkah pelestarian tradisi lokal.
Setiap cangkir coffee yang dihasilkan dari kebun ini mengingatkan kita bahwa cinta tanah air dapat diwujudkan dalam dedikasi untuk menjaga warisan budaya dan memajukan potensi lokal, sebagaimana para pejuang dahulu berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.