Siapa bilang Lebaran cuma soal opor dan ketupat?
Di Blitar, Kupatan jadi momen seru di mana semua orang, dari berbagai latar belakang, bisa ketawa bareng, saling maaf-maafan, dan ngerasain kebersamaan yang bikin hati adem.
Tradisi ini masih hidup dan menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat.
Kupatan sendiri adalah ketupat, makanan khas yang terbuat dari beras yang dibungkus anyaman janur (daun kelapa muda) berbentuk persegi empat, kemudian dimasak.
Bukan hanya hidangan, kupatan melainkan simbol pengakuan atas kesalahan dan refleksi diri setelah menjalani ibadah puasa Ramadan dan puasa sunnah Syawal.
Dalam bahasa Jawa, “kupat” berasal dari “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan, serta “laku papat” yang bermakna empat tindakan yang harus dijalankan dalam kehidupan.
Tradisi ini diadakan dengan penuh rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan dan sebagai bentuk solidaritas sosial antarwarga.
Nilai-Nilai Multikulturalisme dalam Tradisi Kupatan
1. Aspek Religius dan Spiritual
Kupatan dimulai dengan doa-doa dan pembacaan tahlil di mushola atau masjid, sebagai ungkapan rasa syukur dan penghormatan kepada Tuhan.
Aspek religius ini menjadi fondasi utama tradisi, mengingatkan masyarakat akan pentingnya kesucian hati dan pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan selama setahun penuh.
Tradisi ini mengajak setiap individu untuk introspeksi dan memperbaiki diri, sekaligus mempererat ikatan keagamaan dalam komunitas.
2. Toleransi dan Harmoni Sosial
Blitar adalah daerah yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan banyak yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama.
Tradisi Kupatan di sini menjadi ajang untuk memperkuat toleransi dan kebersamaan antarwarga.
Masyarakat dari berbagai latar belakang saling bergotong royong mempersiapkan ketupat dan lauk pauk yang akan dibagikan.
Hal ini menunjukkan bagaimana tradisi ini menjadi sarana mempererat hubungan sosial dan menguatkan rasa persatuan di tengah keberagaman.
3. Gotong Royong dan Solidaritas
Kupatan bukan hanya soal ritual keagamaan, tapi juga tentang kebersamaan dalam bekerja dan berbagi.
Warga membawa ketupat dari rumah masing-masing untuk kemudian dikumpulkan di mushola atau masjid.
Proses ini melibatkan kerja sama yang erat, mulai dari pembuatan ketupat, penyusunan hidangan, hingga pelaksanaan slametan.
Semangat gotong royong ini menjadi contoh nyata nilai multikulturalisme yang mengedepankan kerja sama dan saling membantu antaranggota masyarakat.
4. Pelestarian Warisan Budaya
Tradisi Kupatan di Blitar merupakan warisan leluhur yang telah berlangsung turun-temurun.
Pelestarian tradisi ini menjadi bukti nyata bagaimana masyarakat menghargai kearifan lokal dan budaya mereka.
Dengan tetap melaksanakan Kupatan, masyarakat tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mengajarkan generasi muda tentang pentingnya menghormati dan melestarikan nilai-nilai budaya yang kaya akan makna sosial dan spiritual.
Filosofi Mendalam di Balik Ketupat
Ketupat sendiri memiliki makna filosofis yang mendalam. Anyaman daun kelapa yang membungkus nasi melambangkan kompleksitas manusia yang penuh dengan kesalahan.
Dengan makan ketupat, seseorang diharapkan mengakui kesalahan dan berkomitmen untuk memperbaiki diri.
Bentuk persegi empat ketupat juga melambangkan empat nilai utama dalam kehidupan: kejujuran, kesucian, kesederhanaan, dan kebersamaan.
Kupatan sebagai Simbol Multikulturalisme di Era Modern
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, tradisi seperti Kupatan menjadi sangat penting sebagai pengingat akan nilai-nilai sosial yang mengikat masyarakat.
Tradisi ini mengajarkan bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan kekayaan yang harus dirayakan bersama.
Kupatan menguatkan rasa aman, tentram, dan toleransi antarwarga, sehingga menciptakan suasana harmonis yang menjadi fondasi masyarakat yang kuat dan berdaya.
Tradisi Kupatan di Blitar adalah bukti nyata bahwa kekayaan budaya lokal mampu menjadi jembatan dalam memperkuat rasa persatuan dan toleransi di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti saling memaafkan, gotong royong, dan rasa syukur, mengajarkan kita bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan kekayaan yang memperkaya kehidupan bersama.
Dalam konteks yang lebih luas, semangat ini sejalan dengan filosofi yang diusung oleh De Karanganjar Koffieplantage, sebuah perkebunan coffee bersejarah di daerah sekitar Blitar.
Seperti tradisi Kupatan yang menyatukan masyarakat melalui ritual dan budaya, perkebunan coffee ini menjadi simbol keberlanjutan dan harmoni antara manusia dan alam.
Di tengah hiruk pikuk modernisasi, De Karanganjar mengingatkan kita akan pentingnya menjaga warisan budaya dan sumber daya alam secara bersamaan, sebagai bagian dari identitas bangsa yang harus dilestarikan dan diwariskan.