Bulan Dzulhijah memang identik dengan momen sakral penuh berkah, di mana banyak pasangan muda-mudi melangkah ke jenjang pernikahan.
Tapi tunggu dulu, jangan bayangkan hanya manusia yang “menikah” di bulan ini!
Di Pasuruan, ada tradisi unik yang bikin heboh: Manten Sapi!
Iya, sapi-sapi yang akan dikurbankan juga “berpesta” layaknya pengantin baru, lengkap dengan mahkota bunga, kain putih, dan arak-arakan meriah.
Apa Itu Tradisi Manten Sapi?
Manten Sapi adalah tradisi khas masyarakat Pasuruan yang dilakukan sehari sebelum Idul Adha.
Dalam tradisi ini, sapi-sapi yang akan dikurbankan dimandikan dengan air bunga yang harum, kemudian dihias layaknya pengantin dengan kain putih, kain kafan, kalung bunga tujuh rupa, mahkota bunga, serta atribut religius seperti sorban dan sajadah.
Setelah dirias, sapi-sapi tersebut diarak keliling desa dengan iringan musik tradisional dan doa-doa, kemudian diserahkan kepada panitia kurban untuk disembelih pada hari raya.
Tahapan Pelaksanaan Manten Sapi
1) Seleksi dan Persiapan Sapi
Sapi-sapi yang akan dikurbankan dipilih dengan cermat untuk memastikan kesehatan dan kesesuaiannya sebagai hewan kurban.
Persiapan ini dilakukan jauh hari sebelum Idul Adha agar sapi dalam kondisi terbaik.
2) Pemandian dengan Air Bunga
Sehari sebelum penyembelihan, sapi dimandikan dengan air yang dicampur bunga tujuh rupa seperti melati, cempaka putih, mawar merah dan putih, sedap malam, kenanga, dan melati gambir.
Pemandian ini berfungsi sebagai simbol penyucian dan penghormatan terhadap hewan kurban.
3) Penghiasan Sapi Layaknya Pengantin
Setelah mandi, sapi dibalut kain putih bersih yang melambangkan kesucian. Kemudian diikatkan kain kafan sebagai simbol kesiapan kembali kepada Sang Pencipta.
Sapi juga dikalungi bunga tujuh rupa yang melambangkan pembersihan hati dan pikiran. Mahkota bunga dan atribut seperti sorban dan sajadah melengkapi penampilan sapi agar tampak seperti pengantin.
4) Arak-arakan Keliling Desa
Sapi yang telah “menjadi manten” diarak keliling kampung atau desa dengan iringan musik tradisional seperti rebana dan kesenian lokal lainnya.
Warga yang ikut arak-arakan membawa sembako seperti beras, minyak goreng, bumbu dapur, dan kayu bakar sebagai bagian integral dari tradisi ini.
Selama prosesi, doa dan selawat dilantunkan bersama-sama untuk memohon berkah dan keselamatan.
5) Penyerahan dan Penyembelihan
Setelah arak-arakan, sapi diserahkan kepada panitia kurban di masjid atau tempat penyembelihan.
Pada hari Idul Adha, sapi disembelih dengan tata cara yang sesuai syariat Islam, dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat, terutama yang membutuhkan.
Makna dan Filosofi Tradisi Manten Sapi
Tradisi Manten Sapi bukan sekadar ritual menghias hewan kurban, melainkan mengandung makna yang sangat kaya dan mendalam:
1) Penghormatan terhadap Hewan Kurban
Islam mengajarkan agar hewan kurban diperlakukan dengan penuh kasih sayang dan hormat. Dengan merias sapi seperti pengantin, masyarakat Pasuruan menunjukkan penghormatan tinggi terhadap makhluk ciptaan Allah yang akan dikurbankan.
2) Simbol Kesucian dan Kesiapan Berkurban
Kain putih dan kain kafan yang membalut sapi melambangkan kesucian dan kesiapan hewan untuk dikurbankan sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
Ini juga mengingatkan umat Islam untuk membersihkan hati dan niat sebelum berkurban.
3) Syukur atas Rezeki dan Berkah
Prosesi ini menjadi ungkapan syukur masyarakat atas limpahan rezeki yang diberikan Allah. Arak-arakan dan doa bersama memperkuat rasa kebersamaan dan syukur kolektif warga.
4) Mempererat Silaturahmi dan Solidaritas Sosial
Tradisi ini menjadi ajang berkumpul dan gotong royong warga.
Pembagian daging dan sembako hasil arak-arakan menguatkan nilai kepedulian sosial dan solidaritas antarwarga, terutama kepada yang kurang mampu.
5) Harmoni antara Agama dan Budaya Lokal
Manten Sapi adalah contoh indah bagaimana nilai-nilai keislaman berpadu dengan kearifan lokal, menciptakan tradisi yang kaya makna sekaligus menghibur.
Jangan dikira tradisi unik di bulan Dzulhijah berhenti di situ saja!
Di Karanganjar, Blitar, Jawa Timur, ada tradisi yang tak kalah unik, yakni Manten Coffee.
Kalau di Pasuruan sapi yang “menikah”, di Blitar justru tanaman coffee yang disulap jadi “pengantin” dalam sebuah ritual sakral jelang panen raya.
Bayangkan, coffee jantan dan coffee betina—disebut Joko Gondel dan Sri Gondel—disatukan dalam sebuah prosesi penuh simbolisme.
Mereka dibungkus kain putih, diarak keliling kebun coffee seluas ratusan hektare, diiringi gamelan Jawa dan doa-doa penuh harap agar panen coffee tahun ini melimpah dan membawa berkah bagi petani, pekerja, dan alam sekitar.