Ternyata, perjuangan pada masa sebelum kemerdekaan tidak hanya dilakukan oleh bangsa Indonesia, tetapi juga dilakukan oleh kolonial Belanda melalui sebuah komite.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan pengaruhnya yang akhirnya membuka pintu bagi keterlibatan Bumiputera dalam struktur militer Hindia Belanda, sebuah langkah yang membentuk arah perjuangan bangsa.
Namun, bagaimana sebenarnya dinamika hubungan antara pemerintah kolonial dan penduduk lokal saat itu?
Apa yang terjadi di balik layar setelah misi tersebut?Â
Pada tanggal 3 Januari 1917, sebuah peristiwa penting terjadi di Hindia Belanda ketika Comite Indie Weerbaar mengirimkan delegasi ke Belanda.
Komite ini dibentuk dengan tujuan untuk memperjuangkan pertahanan Hindia Belanda, terutama dalam konteks meningkatnya ketegangan global akibat Perang Dunia I.
Dalam suasana yang penuh ketidakpastian ini, delegasi tersebut berharap dapat meyakinkan pemerintah Belanda untuk melatih dan melibatkan bumiputera dalam angkatan bersenjata.
Pembentukan Comite Indie Weerbaar
Comite Indie Weerbaar didirikan pada tahun 1916 sebagai respons terhadap kebutuhan akan pertahanan militer yang lebih kuat di Hindia Belanda.
Komite ini terdiri dari berbagai tokoh organisasi, pemerintah, dan pengusaha yang memiliki kepentingan dalam pertahanan ekonomi dan militer koloni.
Salah satu tokoh penting dalam komite ini adalah K.A.R. Bosscha, seorang pengusaha teh terkemuka dari Malabar.
Pada awalnya, komite ini berupaya untuk mengadvokasi pembentukan milisi pribumi yang dapat melindungi Hindia dari ancaman eksternal13.
Misi Delegasi ke Belanda
Delegasi Comite Indie Weerbaar berangkat ke Belanda pada Maret 1917 dengan membawa misi penting.
Mereka ingin menyampaikan kepada Ratu Wilhelmina dan pemerintah Belanda tentang urgensi pelatihan militer bagi bumi putra.
Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya pendidikan teknik untuk mendukung pembangunan infrastruktur di Hindia, yang pada gilirannya akan berkontribusi pada pertahanan militer.
Namun, misi ini mengalami kegagalan. Pemerintah Belanda merasa belum perlu untuk melatih bumiputra dalam angkatan bersenjata.
Penolakan ini menunjukkan sikap kolonial yang masih kuat, di mana pemerintah Belanda tidak melihat perlunya melibatkan penduduk lokal dalam urusan pertahanan.
Respons Terhadap Kegagalan Misi
Kegagalan misi delegasi ini tidak menghentikan upaya Comite Indie Weerbaar untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Setelah kembali ke Hindia Belanda, mereka terus berusaha mengumpulkan dukungan dari kalangan pengusaha dan masyarakat untuk pendidikan teknik dan pelatihan militer bagi bumiputra.
Mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar 3,5 juta gulden pada tahun 1919 untuk mendirikan sekolah tinggi teknik di Hindia.
Keterlibatan Bumiputera dalam Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL)
Meskipun pemerintah Belanda awalnya menolak pelatihan militer bagi bumiputera, situasi berubah seiring dengan meningkatnya ancaman eksternal dan internal.
Pada akhirnya, pemerintah Belanda memutuskan untuk melibatkan bumiputera melalui wajib militer dalam Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL).
Hal ini dilakukan sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas di Hindia Belanda dari ancaman luar maupun potensi pemberontakan internal.
Wajib Militer di Masa Pendudukan Jepang
Selama pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), kebijakan wajib militer juga diterapkan.
Jepang membentuk organisasi militer dan semimiliter seperti Pembela Tanah Air (Peta) dan Heiho.
Organisasi-organisasi ini merekrut banyak bekas prajurit KNIL serta pemuda pribumi lainnya untuk memperkuat angkatan bersenjata mereka.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa meskipun ada penolakan awal dari pemerintah kolonial, kebutuhan akan sumber daya manusia yang terlatih tetap ada.
Peran Bekas Prajurit KNIL dan Peta
Bekas prajurit KNIL dan Peta memainkan peran penting dalam sejarah militer Indonesia setelah kemerdekaan.
Mereka menjadi bagian dari angkatan bersenjata Republik Indonesia dan berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan kembali oleh Belanda setelah Perang Dunia II.
Pengalaman militer yang mereka peroleh selama masa kolonial dan pendudukan Jepang memberikan dasar bagi pembentukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) sebagai angkatan bersenjata resmi Republik.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah bangsa, kita dapat meneladani perjuangan para pahlawan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mempelajari sejarah secara langsung melalui kunjungan ke bangunan peninggalan masa kolonial Belanda, seperti De Karanganjar Koffieplantage.
Terdapat Museum Lodji and Noegroho yang menyajikan koleksi yang lengkap, mulai dari miniatur hingga benda-benda bersejarah dan senjata warisan dari para leluhur.
Salah satunya adalah senjata dari Jenderal Soedirman.
Melalui cara ini, kita tidak hanya menghargai warisan sejarah, tetapi juga mengingatkan diri kita akan pentingnya menjaga nilai-nilai perjuangan yang telah ditanamkan oleh para pendahulu kita.