Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar “bulan Suro”?
Apakah tentang pantangan, larangan, atau petaka?
Jika iya, ada beberapa hal yang perlu diketahui.
Masyarakat Jawa, khususnya Blitar memiliki banyak tradisi untuk menjaga kedamaian, kerukunan, keselamatan, dan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan.
Salah satu tradisi tersebut adalah tradisi Baritan, yang berasal dari istilah “lebar rit-ritan,” artinya setelah panen raya.
Baritan adalah salah satu bentuk tradisi selamatan yang biasanya diadakan di perempatan jalan dengan tujuan untuk memohon petunjuk dan keselamatan dari Tuhan serta sebagai wujud rasa syukur masyarakat yang dilaksanakan di bulan Suro.
Mitos Bulan Suro
Terkait mitos bulan Suro, pada zaman dahulu, sebagian keraton di pulau Jawa menyelenggarakan ritual memandikan pusaka keraton.
Tradisi ini menjadi hiburan bagi masyarakat yang kemudian mengembangkan stigma tentang “keangkeran” bulan Suro.
Dengan kekuatan karisma keraton, mereka menciptakan mitos agar masyarakat percaya dan tidak mengadakan acara yang mengganggu ritual keraton, terutama pesta pernikahan yang bisa menyebabkan sepinya ritual keraton.
Mitos ini masih kuat hingga sekarang, sehingga segala ritual yang diadakan pada bulan Suro menjadi tradisi unik yang dipercayai dan dijalankan oleh masyarakat Jawa.
Tradisi Baritan di Blitar
Blitar dikenal dengan budayanya yang kental dengan tradisi Jawa, termasuk tradisi Baritan.
Tradisi ini terus diselenggarakan di bulan Suro dan merupakan bagian penting dari budaya Islam Jawa.
Baritan dilaksanakan untuk menolak bala/celaka, memohon keselamatan dari Tuhan, memperingati tahun baru hijriah, dan memperingati peristiwa-peristiwa zaman Nabi yang terjadi pada tanggal 10 Muharram.
Masyarakat membawa nasi yang diwadahi takir (terbuat dari daun pisang) dan dihiasi dengan janur (daun kelapa muda).
Takir ini biasanya berisi nasi dan lauk pauk, seperti mi, telur, kepala ayam, sayap ayam, dan ceker ayam, yang melambangkan harapan agar terhindar dari hal-hal buruk dari ujung kepala sampai kaki.
Makna Tradisi Baritan
Tradisi Baritan memiliki beberapa makna, di antaranya:
- Berbagi (Sedekah): Membawa makanan dalam takir dan membagikannya kepada orang lain sebagai wujud rasa syukur.
- Gotong Royong: Seluruh masyarakat bergotong-royong menyiapkan segala sesuatu untuk kelancaran acara, termasuk persiapan fisik seperti meja, kursi, terpal, bambu, tali, dan tikar.
- Toleransi dan Kerukunan: Menghormati prinsip dan keyakinan orang lain, sehingga semua warga, termasuk yang bukan beragama Islam, turut serta dalam persiapan dan pelaksanaan Baritan.
- Kekeluargaan dan Kebersamaan: Nilai kebersamaan terasa dalam rapat persiapan dan saat acara berlangsung, di mana masyarakat berkumpul, berdoa, dan makan bersama.
- Kesederhanaan: Penggunaan takir yang terbuat dari daun pisang dan janur melambangkan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi Baritan yang dilaksanakan pada bulan Suro di masyarakat Jawa, khususnya di Blitar, mencerminkan usaha untuk menjaga kedamaian, keselamatan, dan rasa syukur kepada Tuhan.
Meski bulan Suro sering dianggap angker karena mitos yang berkembang dari ritual keraton, tradisi
Baritan tetap diadakan dengan tujuan menolak bala dan memohon keselamatan, serta menekankan nilai-nilai berbagi, gotong royong, toleransi, kerukunan, kebersamaan, dan kesederhanaan, melibatkan seluruh masyarakat tanpa memandang perbedaan agama.
Sejalan dengan Tradisi Baritan, Perkebunan Karanganjar juga memiliki tradisi unik “Manten Coffee” yang digelar pada bulan bulan Dzulhijjah atau dalam kalender Jawa disebut sebagai bulan Besar, tepatnya sebelum musim panen coffee.
Dalam tradisi Jawa, bulan Dzulhijjah atau bulan Besar dianggap sebagai bulan yang baik untuk memulai sesuatu yang baru, termasuk pernikahan.
Hal ini dikaitkan dengan kepercayaan bahwa bulan ini memiliki energi positif yang dapat membawa keberuntungan bagi pasangan yang menikah.
Oleh karena itu, tradisi “Manten Coffee” dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas panen coffee yang melimpah dan doa untuk kelancaran musim panen berikutnya.
Ritual Manten Coffee juga mengandung makna persatuan dan gotong royong antar warga masyarakat dalam mengelola perkebunan coffee.
Hal tersebut tercermin melalui rangkaian prosesi simbolis pernikahan antara dua pohon coffee yang melambangkan harapan akan keberkahan dan kelestarian hasil panen, diikuti doa bersama dan berbagai acara yang mempererat hubungan antara petani dan masyarakat sekitar.
Kedua tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Blitar memelihara nilai-nilai spiritual dan sosial sebagai wujud syukur dan harapan akan masa depan yang lebih baik.