Pernahkah Anda mendengar istilah Proyek Mercusuar Soekarno?
Istilah ini mungkin tidak asing bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang memiliki minat dalam sejarah dan arsitektur Indonesia.
Proyek Mercusuar, diusung oleh Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966).
Proyek ini merupakan inisiatif pembangunan nasional yang terwujud saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games pada 1962.
Dengan tujuan politik yang kuat, proyek ini bertujuan untuk mendorong kemajuan Indonesia, menegaskan kemandiriannya, serta memperlihatkan kemampuannya di panggung dunia.
Sebagai salah satu gagasan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, Proyek Mercusuar menjadi simbol kesungguhan tekadnya dalam membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah dan berpengaruh secara global.
Salah satu manifestasi dari pemikiran ini adalah Museum Bung Karno yang berlokasi di Jalan Ir. Soekarno, Bondogerit, Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur.
Museum adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat untuk memamerkan benda-benda yang memiliki nilai penting bagi masyarakat umum, seperti artefak sejarah, karya seni, dan pengetahuan ilmiah.
Untuk mendukung kegiatan di dalamnya, museum dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan ruang yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan sebagai tempat pameran dan penyimpanan benda-benda berharga tersebut.
Bentuk bangunan pada era Soekarno sangat dipengaruhi oleh arsitektur modern, dengan bentuk geometri sederhana yang dominan.
Hal ini terlihat jelas pada Museum Bung Karno, yang merupakan gabungan antara bentuk persegi dan lingkaran.
Arsitektur modern sendiri dikenal efisien dan efektif, tanpa penggunaan ornamen yang berlebihan. Sehingga, bangunan pada era ini didominasi oleh bangunan bersih dan polosan tanpa hiasan atau ornamen.
Proyek Mercusuar Soekarno juga dikenal dengan bangunan-bangunan ‘oversize’ yang mencolok. Beberapa contoh bangunan ini adalah Masjid Istiqlal, Hotel Indonesia, Gelora Senayan, dan Bank Indonesia.
Bangunan-bangunan ini memiliki ukuran yang besar jika dibandingkan dengan bangunan di sekitarnya, terutama pada saat pembangunannya antara tahun 1950-an hingga 1970-an.
Museum Bung Karno di Blitar mengusung desain arsitektur Jawa, khususnya bangunan joglo, sementara kompleks makam Bung Karno di wilayah yang sama juga mengadopsi gaya arsitektur yang serupa.
Setiap tingkatan lantai dalam kompleks makam tersebut dipenuhi dengan filosofi dan makna yang menggambarkan perjalanan kehidupan, baik di dunia maupun setelahnya.
Bangunan ini secara keseluruhan dirancang dengan sentuhan arsitektur modern, menciptakan sebuah pernyataan yang tegas tentang kemampuan Indonesia untuk tetap relevan dalam era perkembangan global yang didominasi oleh arsitektur modern.
Museum Soekarno sendiri berfungsi sebagai pelengkap dari objek wisata Makam Soekarno. Sebagian besar dari bangunan museum ini memiliki keterkaitan secara langsung dengan makam Soekarno, baik itu secara visual maupun secara fisik.
Untuk mendukung fungsi makam Bung Karno sebagai objek wisata sejarah Indonesia, diperlukan media yang dapat menyampaikan informasi yang berkaitan dengan sejarah perjalanan hidup Bung Karno kepada para wisatawan yang datang berkunjung.
Daya tarik utama dari Museum Bung Karno adalah koleksi-koleksi yang menyimpan jejak Sang Proklamator.
Koleksi itu berupa pakaian jas milik Bung Karno yang berwarna putih polos, lembaran uang rupiah yang bergambar Presiden Soekarno, dan sebuah koper tua milik Bung Karno.
Selain itu, museum ini juga memiliki puluhan lukisan dan foto yang menampilkan peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah yang terjadi di Indonesia.
Ada sebuah lukisan Bung Karno yang unik di Museum Bung Karno di Blitar.
Lukisan tersebut seolah-olah ‘hidup’ karena kanvas di dada kiri Bung Karno bergerak maju-mundur, menciptakan ilusi degup jantung910.
Menariknya, ritme degup jantung ini sekitar 60-70 detak per menit, mirip manusia normal.
Lukisan tersebut seolah-olah ‘hidup’ karena kanvas di dada kiri Bung Karno bergerak maju-mundur, menciptakan ilusi degup jantung910.
Menariknya, ritme degup jantung ini sekitar 60-70 detak per menit, mirip manusia normal
Jejak Soekarno di Blitar tidak hanya terdapat di Museum Soekarno dan Makam Soekarno saja.
Di De Karanganjar Koffieplantage, lebih tepatnya di Moesium Rumah Lodji, terdapat kamar yang pernah ditempati Bung Karno ketika singgah untuk keperluan nasionalisasi perusahaan asing sekitar tahun 1957-1959.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak sekali bukti dari jejak Soekarno yang masih bisa kita lihat dan rasakan hingga hari ini.
Sebagai generasi yang hidup di era pasca penjajahan, sudah seharusnya kita mempelajari dan meneladani jejak-jejak perjuangan para pahlawan bangsa.