Musim penghujan selalu membawa berbagai nuansa dan cerita. Di balik gemuruh hujan dan aroma tanah yang khas, tersembunyi berbagai tradisi dan budaya masyarakat yang turut meramaikan musim ini.
Salah satunya adalah di Blitar, sebuah kota yang masih kental dengan budayanya.
Di kota ini, musim penghujan bukan hanya soal cuaca, melainkan juga tentang bagaimana masyarakatnya menjaga dan melestarikan tradisi leluhur mereka.
Salah satu tradisi yang menjadi sorotan adalah Tiban, sebuah tradisi unik yang digelar oleh masyarakat Blitar saat musim kemarau berkepanjangan.
Tradisi ini dijadikan sebagai ritual meminta hujan yang sudah turun temurun dilakukan.
Tiban berasal dari kata ‘tibo’ yang berarti jatuh, dengan diadakannya tradisi ini masyarakat petani berharap akan jatuhnya hujan, jatuhnya ujug-ujug yang artinya tiba-tiba.
Tradisi Tiban ini agak menantang, karena dilakukan oleh dua orang pemain yang saling adu cambuk menggunakan lidi yang dianyam.
Tradisi ini diikuti oleh lelaki bertelanjang dada dari muda hingga tua. Masing-masing pemain hanya berkesempatan mencambuk lawan sebanyak tiga kali secara bergantian. Tradisi Tiban ini diiringi pula oleh alunan gamelan Jawa.
Keunikan dari tradisi Tiban ini adalah dua orang pemain harus  saling mencambuk dengan tujuan untuk meminta hujan turun.
Tradisi ini biasanya dilakukan pada saat musim kemarau berkepanjangan. Menurut beberapa sumber, tradisi ini rutin digelar pada bulan Oktober.
Tradisi ini dilakukan di panggung yang disediakan berukuran 6 x 6 meter dan dengan ketinggian dua meter.
Banyak warga percaya semakin banyak luka gores dan darah mengucurkan ditubuh pemain akibat cambukan, maka semakin banyak hujan yang akan turun.
Selain bertujuan untuk meminta hujan turun karena musim kemarau panjang melanda daerah tersebut, kesenian Tiban digelar untuk hiburan masyarakat dan untuk melestarikan tradisi nenek moyang.
Anda dapat menjumpai tradisi Tiban di beberapa daerah di Blitar yang masih melestarikan tradisi ini yakni di Desa Maliran, Desa Srengat, Desa Gambar, Desa Binangun, Lodoyo, dan Desa Sumberingin.
Uniknya, tradisi ini dibanjiri oleh anak muda yang gandrung dengan Tiban. Hal ini bisa dibuktikan, jumlah anggota paguyuban Tiban di satu desa saja, bisa mencapai ratusan pemuda.
Sebagai penutup, tak ada salahnya jika Anda mencoba berkunjung ke De Karanganjar, sebuah tempat yang tidak kalah kental dengan nuansa budaya Jawa pada saat tertentu.
Apalagi di musim penghujan, suasana yang ditawarkan membawa pengunjung seolah-olah berada di Eropa.
Jadi, tunggu apalagi? Segera rencanakan perjalanan Anda dan saksikan langsung keunikan tradisi Tiban ini. Selamat berpetualang!