Ditulis pada 08 Oktober 2018
Oleh : Wima Brahmantya
Dari 4 museum yang ada di Keboen Kopi Karanganjar, museum ini yang paling gampang ditemukan. Lokasinya di dekat O.G Cafe dan Resko, dua titik yang menjadi salah satu pusat berkumpulnya pengunjung.
“Poerna Bhakti” artinya “Seusai Pengabdian”. Saya merancang museum ini untuk mengenang masa ketika Papah masih berdinas dulu.
Ide awalnya sih muncul tatkala melihat piagam-piagam penghargaan yang ditaruh begitu saja di ‘gudang’. Juga ketika melihat seragam-seragam dinas yang dilipat dalam lemari (yang pastinya ga bakalan dipake lagi).
“Wah, kalo gini caranya bisa-bisa hilang dan rusak barang-barang ini. Dan nanti anak cucuku ga bakalan kenal lagi siapa leluhurnya”, pikir saya waktu itu.
Jadilah satu ruangan yang ada di Keboen Kopi Karanganjar saya setting seolah-olah seperti ruang kerja Papah waktu dinas dulu. Ada papan nama di atas meja kerja yang bisa diduduki oleh pengunjung sekedar buat foto-foto, pura-puranya jadi pejabat, hehe ..
Lalu seragam dinas dan baju adat saya set di dalam kotak kaca lengkap dengan keterangan kapan dan di mana pakaian tersebut harus dipakai. Sementara piagam-piagam penghargaan yang buanyak itu saya pasang di tembok, lengkap dengan daftar prestasi apa saja yang pernah Papah raih semasa beliau menjabat.
“Kamu kok iso kepikiran bikin ini ya le”, kata Papah ketika museum ini selesai disetting. Entah bagaimana dia bisa lupa bahwa sudah sejak lama otak saya ini hobi bikin “ide-ide kurang kerjaan”.
Salah satu benda favorit saya adalah lukisan “Kebahagiaan di Gunung Kelud” karya Mpu Harris. Figur kedua orangtua saya di situ seakan-akan kelihatan “hidup” dan auranya memang penuh kebahagiaan.
Saya setting museum ini bukan sekedar sebagai pelengkap wahana wisata. Bukan pula sekedar rasa kebanggaan seorang anak yang ingin memperkenalkan Sang Ayah kepada khalayak umum.
Lebih dari itu, saya ingin menginspirasi banyak orang bahwa Ayah adalah asal usul kita, panutan kita, yang membesarkan kita dengan susah payah. Kewajiban kita sebagai anak untuk tetap “menyalakan api kehidupan” ayah kita, entah apakah mereka masih hidup atau tiada.
Kita bisa setting suatu tempat dengan benda-benda peninggalan ayah kita. Foto, pakaian, catatan, alat musik, cerutu, piagam, dan apa saja yang memungkinkan agar mereka tetap dikenang generasi penerus walau sudah lewat berabad-abad.
Tidak harus satu bangunan atau satu ruangan khusus, satu sudut kecil pun okay.
Siapa pun ayah kita .. pejabat, polisi, guru, musisi, pedagang, petani, sopir, dsb, buatkan monumen untuk mereka.
Dan banggalah akan mereka.
–
* Met ultah Pah!