Di balik aroma kopi yang menggoda dan logo putri duyung yang ikonik, Starbucks telah menjelma menjadi salah satu merek paling dikenal di dunia.
Dengan lebih dari 40.000 gerai yang tersebar di berbagai negara, Starbucks bukan hanya sekadar tempat untuk menikmati kopi, tetapi juga telah menjadi simbol gaya hidup modern.
Namun, di tengah popularitasnya yang meroket, perusahaan ini menghadapi tantangan besar berupa boikot yang dipicu oleh isu politik.
Lantas, apa yang membuat perusahaan kopi ini begitu kuat hingga mampu bertahan di tengah badai kontroversi?
Starbucks dibuka pertama kali pada tanggal 30 Maret 1971 sebagai toko yang menjual biji kopi berkualitas tinggi dan peralatan kopi.
Pada awalnya, Starbucks tidak menjual minuman kopi, tetapi fokus pada penjualan biji kopi panggang dan peralatan terkait.
Inspirasi untuk mendirikan Starbucks datang dari pengusaha pemanggangan kopi Alfred Peet, yang menjadi mentor bagi para pendiri.
Pada tahun 1984, Howard Schultz bergabung dengan Starbucks sebagai manajer pemasaran.
Setelah mengunjungi Italia dan terinspirasi oleh budaya kafe di sana, Schultz meyakinkan pemilik Starbucks untuk mulai menjual minuman espresso.
Pada tahun 1987, setelah membeli perusahaan tersebut, Schultz mulai mengubah Starbucks menjadi kafe yang lebih nyaman dan ramah pelanggan.
Di bawah kepemimpinannya, Starbucks mulai membuka gerai di luar Seattle dan melakukan ekspansi internasional.
Ekspansi Global
Starbucks melakukan ekspansi besar-besaran selama tahun 1990-an dan awal 2000-an.
Gerai pertamanya di luar Amerika Utara dibuka di Tokyo pada tahun 1996, diikuti oleh pembukaan kedai di Inggris dan negara-negara lainnya.
Pada tahun 1992, Starbucks mencatatkan sahamnya di bursa efek dan terus tumbuh pesat hingga mencapai lebih dari 20.000 gerai di seluruh dunia pada awal abad ke-21.
Boikot terhadap Starbucks muncul setelah tuduhan bahwa perusahaan ini mendukung Israel dalam konflik Israel-Palestina.
Masyarakat di berbagai negara mulai menyerukan untuk tidak membeli produk Starbucks sebagai bentuk protes terhadap kebijakan perusahaan yang dianggap berpihak pada satu pihak dalam konflik tersebut.
Hal ini menyebabkan penurunan penjualan yang signifikan dan dampak negatif terhadap citra merek.
Perubahan Citra Merek
Setelah boikot dimulai, banyak konsumen beralih ke produk lokal sebagai alternatif dari produk Starbucks.
Di Indonesia, misalnya, masyarakat mulai lebih memilih kedai kopi lokal yang menawarkan cita rasa unik dan pengalaman yang lebih dekat dengan budaya setempat.
Hal ini menunjukkan pergeseran preferensi konsumen yang semakin menghargai produk lokal dibandingkan merek internasional.
Respons Starbucks
Menanggapi situasi ini, Starbucks berusaha untuk memperbaiki citranya dengan meluncurkan kampanye pemasaran yang menekankan komitmennya terhadap keberlanjutan dan dukungan terhadap komunitas lokal.
Perusahaan juga berupaya untuk meningkatkan keterlibatan sosial melalui berbagai inisiatif komunitas dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang lebih terlihat.
Peningkatan Minat Terhadap Produk Lokal
Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya mendukung ekonomi lokal, banyak konsumen mulai beralih ke kedai kopi lokal yang menawarkan produk-produk unik dan berkualitas tinggi.
Kedai-kedai lokal ini sering kali menyajikan kopi dari petani setempat dan menciptakan bounding yang lebih erat dibandingkan dengan kedai besar seperti Starbucks.
Berbeda dengan raksasa kopi seperti Starbucks yang menawarkan pengalaman global, De Karanganjar Koffieplantage menawarkan pengalaman yang lebih personal dan autentik.
Kopi lokal yang telah diwariskan sejak tahun 1874 dan disajikan di OG Cafe memberikan cita rasa yang unik dan tidak dapat ditemukan di tempat lain.
Bagi pencinta kopi sejati yang merindukan cita rasa asli Indonesia, De Karanganjar Koffieplantage adalah destinasi yang wajib dikunjungi.