Ditulis pada 24 Juli 2018
Oleh : Wima Brahmantya
Suatu hari Keboen Kopi Karanganjar kedatangan serombongan turis Belanda. Seusai mereka dipandu di Roemah Lodji, pemandu wisata kami mengarahkan mereka ke tempat di mana mereka bisa belajar sejarah dan asal usul kopi.
“Oh, Koffieboomstraat?” salah satu dari mereka menimpali.
“Lho, dari mana anda tahu?” tanya petugas pemandu wisata.
Ternyata mereka tahu karena mereka sudah riset dulu sebelum datang kemari. Mereka pun bilang tidak perlu diantar kesana karena mereka sudah ada peta wisata di tangan.
Bukan cuma sekali kejadian seperti ini. Banyak turis asing yang seakan sudah tahu harus kemana saja hanya dengan berbekal peta di tangan.
Kontras dengan bagaimana wisatawan lokal memanfaatkan peta wisatanya. Sering saya lihat bahwa peta wisata itu dibuang begitu saja di jalan (ga di tempat sampah lagi). Malah ada beberapa kejadian wisatawan lokal tanya mereka harus kemana lagi, dan pemandu wisata kami mempersilakan mereka membuka peta wisata.
“Oh, ini peta toh?” jawab mereka, padahal peta sudah di tangannya. Entah apakah mungkin karena saking bersemangatnya kepengen selfi di setiap sudut, sampai ga sadar apabila barang yang diberikan di loket itu adalah peta wisata.
Parahnya lagi sampai ada wisatawan lokal yang menulis review bahwa “tidak ada kebun kopi” di Keboen Kopi Karanganjar. Padahal seandainya mereka mau membaca peta dengan baik, ada banyak wahana menarik yang bisa dikunjungi di sini. Tanpa peta pun seandainya mereka tidak terlalu rempong dengan gadget dan mau menggunakan panca indera dengan baik, mereka bakalan lihat ada ribuan pohon kopi di sekelilingnya.
Kita sering juga kan menjumpai wisatawan asing yang masih muda-muda ‘blakrakan’ ke pelosok-pelosok negeri tanpa bantuan pemandu wisata. Mereka cukup pede hanya berbekal peta dan riset sebelum mereka berlibur ke Indonesia.
Sementara untuk wisatawan Indonesia kebanyakan lebih nyaman ikut tour travel, di mana semua akomodasi sudah diberesi oleh biro travel. Mereka tinggal jalan-jalan, foto-foto, dan beli oleh-oleh. Tapi setibanya di Tanah Air biasanya tidak banyak hal yang bisa mereka ceritakan secara mendalam.
Dari perbandingan ini sebenarnya sekarang kita bisa sedikit paham kenapa dalam banyak hal kita sering kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain, terutama Barat. Karena kemampuan navigasi (membaca arah) mereka lebih terlatih daripada kita.
Membaca peta adalah bagian dari bernavigasi. Memang tidak mudah karena otak harus bekerja melakukan analisa yang cermat. Tidak cukup logika, tapi insting juga terkadang harus digunakan sebelum membuat keputusan. Dan mereka sendiri harus siap bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat.
Coba kilas balik sejarah, kenapa di era kolonial bangsa-bangsa Eropa begitu berjaya di dunia? Salah satunya adalah penguasaan kartografi (ilmu membaca peta) yang baik. Sehingga mereka bisa menjelajah dunia mana saja yang mereka inginkan.
Kemampuan navigasi dengan membaca peta ini cuma satu hal saja, tapi bisa sangat berpengaruh terhadap bagaimana kita berhadapan dengan persoalan sehari-hari, karena setiap keputusan yang kita ambil memang sebaiknya selalu mengandung unsur riset, analisa, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
Itulah kenapa sedari kecil anak saya si Jaga Nusantara sudah saya akrabkan dengan peta, apalagi dengan kemajuan teknologi untuk “menjelajah dunia” secara virtual juga memungkinkan.
Juga sering saya biarkan dia memilih jalan mana yang harus dilewati, dengan menganalisa keadaan sekitarnya.
Biarkanlah “trial and error” mendewasakan dia. ernasional.