Ditulis pada 22 Januari 2018
Oleh : Wima Brahmantya
“Maaf, mushollanya di mana?”
Itulah kalimat pertama yang terlontar dari Jean-Patrick Pinet des Ecots, si bule Perancis setibanya di Keboen Kopi Karanganjar.
Bahasa Indonesianya pun lancar sekali, dan dia menolak diajak berbahasa Inggris. Kata dia, orang Perancis sebenarnya “cemburu” dengan bahasa Inggris, sehingga kalau mereka harus berbahasa Inggris itu sebenarnya terpaksa.
Saya kira mestinya dia sudah lama tinggal di Indonesia dan menikah dengan wanita Indonesia sehingga menjadi “mualaf”.
“Tidak, istri saya orang Laos. Dan dia Buddhist. ” jawab monsieur Jean yang di usianya yang ke-51 dia merupakan bule cowok magang tertua di Keboen Kopi Karanganjar.
“Lalu belajar Islam dari mana monsieur (pak)?”
Ternyata awal dia tertarik Islam ketika belajar bahasa Arab (dan bahasa Indonesia) di universitas. Setelah itu dia mulai belajar terjemahan Alquran dan sejarah Islam.
“Tapi saya lambat sekali dalam berproses menjadi Muslim. Butuh waktu lama untuk benar-benar mempelajarinya lalu yakin. Dan sampai sekarang pun saya masih belum merasa jadi Muslim yang baik. Saya masih terus belajar.”
Saya bilang ke dia, justru yang seperti itulah yang bagus. Karena sekarang banyak orang yang sudah pede masuk surga hanya modal “Muslim warisan”, tapi kelakuan ga dijaga selayaknya Muslim .
“Ya begitulah. Di Perancis image terhadap Islam tidak terlalu baik gara-gara sekelompok orang fanatik dan terorisme. Tapi saya lebih senang di Indonesia dibandingkan negara Muslim di Arab misalnya. Di sini lebih terbuka dan menerima perbedaan. Islam bisa berdampingan dengan budaya lokal”, kata monsieur Jean yang profesinya adalah chef tersebut.