Bulan Suro, dalam kalender Jawa adalah bulan pertama tahun Jawa yang dihitung berdasarkan siklus bulan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa Bulan Suro memiliki makna penting dalam budaya Jawa khususnya terkait tradisi dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Selama Bulan Suro, banyak masyarakat Jawa yang melakukan berbagai tradisi dan upacara sesuai adat dan budaya yang berlaku di daerahnya masing-masing.
Salah satu tradisi Bulan Suro yang masih dilestarikan hingga kini adalah tradisi Djamasan Poesaka yang terdapat di De Karanganjar Koffieplantage, Blitar. Tradisi djamasan poesaka dilaksanakan pada hari Minggu, 13 Agustus 2023 dengan kegiatan inti mencuci pusaka leluhur keluarga Noegroho yang selama ini disimpan di Museum Noegroho yang ada di De Karanganjar. Kegiatan djamasan poesaka tidak dibuka untuk umum dan hanya dihadiri oleh karyawan De Karanganjar dan para Muspika (Polsek Nglegok , Danramil Nglegok, Camat Nglegok, Kepala Desa Modangan, dan Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Blitar).
Jamasan sendiri dapat diartikan sebagai uapaya pembersihan, pemandian, pemeliharaan, atau perawatan pusaka dengan cara memandikannya. Pelaksanaan tradisi dan ritual djamasan poesaka bertujuan untuk memelihara pusaka leluhur agar tetap awet. Diharapkan dengan adanya tradisi tahunan ini juga dapat memberikan pesan kepada masyarakat luas akan pentingnya menjaga pusaka peninggalan leluhur dengan sebaik-baiknya serta melestarikan adat-istiadat yang baik, selain penguatan jati diri dengan nilai-nilai spiritual, gotong royong, dan kebersamaan yang berdampak positif lainnya.
Salah satu pusaka penting yang dicuci pada kegiatan djamasan poesaka adalah Gong Mbah Gimbal peninggalan RM. Djojo Poernomo, salah satu jendral pasukan Diponegoro yang bermigrasi dari Yogyakarta ke Blitar pasca penangkapan Pangeran Diponegoro. Singkat cerita, pada masa itu Raden Djojo Poernomo menyamar sebagai pemuka agama untuk menghindari kejaran pasukan Belanda dan mengganti namanya menjadi Raden Papak. Selain itu, beliau juga tidak memotong dan merawat rambutnya sehingga memanjang dan gimbal. Dari situlah, kemudian muncul julukan “Mbah Gimbal”.
Selain Gong Mbah Gimbal, terdapat pusaka lain yang juga dicuci seperti keris peninggalan Jenderal Sudirman, keris Omyang Jimbe, keris Eyang Ndoro Tedjo, keris Sangkelat Bung Karno, keris Karnotinanding Jagat, dan Tombak Cokromanggilingan. Pusaka-pusaka tersebut dicuci dengan air biasa yang dicampur dengan kembang. Kemudian, untuk menghilangkan karat pada pusaka digunakan perasan jeruk nipis dan mengkudu. Setelah dicuci, pusaka kemudian diolesi minyak cendana agar tidak mudah berkarat atau poros.
Jika Anda ingin melihat langsung wujud pusaka-pusaka tersebut, silahkan mengunjungi Museum Noegroho hanya di De Karanganjar Koffieplantage. Selain pusaka, Anda juga akan menjumpai banyak koleksi pribadi Bapak Herry Noegroho, koleksi lukisan-lukisan cantik, dan yang tidak boleh terlewat koleksi Batik Tutur asli Blitar yang pernah dibawa ke Negeri Belanda selama satu abad lebih.
Oleh: Dwi Rahayu