Written on 10/16/2016
By: Wima Brahmantya
"Harvest Moon - Save the Homeland". I played this legendary Playstation 2 game almost 15 years ago. The game tells the story of a young man who comes to the village to revive his grandfather's abandoned farm. It's a 'flat' game. There are no enemies.
Tidak ada persaingan. Tidak ada adegan kekerasan. Hanya merawat ayam, sapi, kuda, dan kemudian jualan telur, susu, keju, sambil sesekali bikin kue untuk dijual di toko atau dimakan sendiri. Meskipun game ini tidak menantang, tapi entah kenapa saya begitu mencintai game ini. Rasanya ini game bikin hati tentrem, apalagi sambil dengerin lagu-lagu country-nya. Bahkan saat itu terbesit cita-cita jadi petani (what???), sesuatu yang sangat tidak mungkin bagi saya yang sedang menapaki cita-cita sebagai musisi. * * * Akhir 2014, Sabda Romo : “Le, kamu harus turun ke Karanganyar. Selamatkan warisan leluhur. Toh kamu dulu yang paling keras menentang waktu kebun ini mau dijual.” Oke. Saya di sini. Berdiri di perkebunan coffee seluas 250 ha yang sepi dan tidak terawat.
Padahal dulu waktu saya kecil, di sini setiap panen raya hampir ga ada sudut yang ga tercium aroma wangi coffee. Garuk-garuk sambil ngomong dalam hati, “Harus mulai dari mana?” Saya bukan petani. Saya sudah putuskan untuk jadi seniman. Bahkan saya ga pernah “urip ning deso”. Tapi saya cinta perkebunan coffee ini. Saya cinta perkebunan coffee ini, karena dari jualan coffee inilah saya bisa makan dan saya sekolah tinggi sampai lulus kuliah.
Lukisan Eyang Kakung dan Eyang Putri masih tergantung di tembok. Saya menatap wajah mereka dengan rasa rindu. Tidak lama kemudian bulik Katminah, pegawai yang sudah 40 tahun lebih mengabdi di sini bilang ke saya, “Gus (padahal nama saya bukan “Agus”) … dulu waktu Gus Wima masih bayi biasanya setiap pagi diajak jalan-jalan sama Eyang, dipanggul terus ditunjukkan kebun sambil bilang ‘ini nanti semua kamu yang neruskan ya le’. Selalu bilangnya seperti itu.” Ow .. Oke .. Mungkin harus begini ceritanya, seniman banting setir jadi petani coffee di kaki Gunung Kelud. Maaf teman, demi ‘dramatisnya cerita ini dengan sangat terpaksa saya harus mengakhiri tulisan ini dengan cara “Keminggris” … “LET’S DO THE HARVEST MOON IN THE REAL
WORLD!!!” –