Ditulis pada : 19 September 2018
By: Wima Brahmantya
NINA BRAZZO – datang jauh-jauh dari Afrika Selatan untuk ngobrol dengan saya. Dia punya cita-cita luhur untuk bangsanya. Meskipun kebijakan Apartheid sudah dihapuskan sejak 1994, namun luka batin belum sepenuhnya pulih. Masih ada sekat yang sulit ditembus di antara kaum Kulit Hitam, Kulit Putih, dan Kulit Berwarna.
Cita-citanya adalah melunturkan sekat-sekat itu dengan pendekatan seni budaya. Dia ingin membuat pementasan kolaborasi kesenian Afsel dengan kesenian Indonesia di beberapa kota di Afsel, juga memperkenalkan tarian ﹰNusantara dan karawitan kepada anak-anak di pedalaman Afsel.
Dia bercerita bahwa banyak daerah di Afsel yang terisolasi satu sama lain karena pembangunan infrastruktur yang mengikuti kebijakan Apartheid. Seseorang dari satu daerah harus melalui perkotaan terlebih dahulu supaya bisa tersambung ke daerah lain. Kenapa? Supaya Rezim Apartheid bisa memantau pergerakan penduduk asli. Sehingga sampai saat ini pun masih banyak penduduk asli yang “buta dunia luar”, bagaikan “katak dalam tempurung”. Mereka sudah terlanjur punya perasaan tidak enak kalau harus bepergian meninggalkan daerahnya.
“Lalu apa yang membuat kamu berpikir bahwa budaya Indonesia bisa membantu mewujudkan cita-citamu?”, saya bertanya.
Jawabnya : “Karena Indonesia telah banyak memberikan kontribusi positif pada Afsel, dan saya ingin menguatkannya lagi”.
Lho kok bisa?
Dia bercerita bahwa penyebar “Islam” di Afsel adalah Syekh Yusuf Al Makasari dari Makassar. Dia adalah pejuang dari Kesultanan Gowa dan Banten, sebelum akhirnya ia diasingkan oleh Belanda ke Afsel. Itulah kenapa di Afsel ada kota Macassar yang berada di Western Cape. Keberaniannya melawan Belanda itu juga menginspirasi Nelson Mandela untuk bangkit melawan Rezim Apartheid. Pada tahun 2009 Syekh Yusuf mendapatkan gelar “Pahlawan Nasional” dari Presiden Jacob Zuma.
Lalu ia juga bercerita bagaimana Nelson Mandela selalu bangga mengenakan baju batik. Sayangnya mayoritas orang Afsel tidak tahu bahwa batik itu berasal dari Indonesia.
Alasan terakhir adalah filosofi Panca Sila yang baik untuk diteladani bangsa Afsel. Dia melihat bagaimana di Indonesia ada banyak suku dan umat beragama yang bisa berdampingan secara damai di Indonesia secara sederajat *. Ini agak sulit terjadi di Afsel. Bangsa Afsel harus belajar banyak dari bangsa Indonesia tentang bagaimana mengelola kebhinnekaan, katanya.
(* well .. kondisi terkini tidak sepenuhnya benar).
Harapannya adalah Afsel dan Indonesia bisa saling mengirim duta perdamaian dalam konteks seni budaya dan lebih dalam menggali keterkaitan sejarah di antara keduanya.
Karena pendekatan budayalah yang paling efektif bagi umat manusia untuk saling mengenal, memahami, berbagi, dan menginspirasi satu sama lain.
Entah kenapa dia merasa bahwa saya yang cuma seorang bakul coffee ini orang yang tepat untuk membantu mewujudkan cita-citanya.
Dan siapa yang bisa menolak seseorang dengan cita-cita mulia seperti itu? Tentu saja saya harus menjabat tangannya.