Kutukan Lembusuro dan Jejak Islam di Karanganjar
Pernahkah Anda mendengar tentang tempat di mana cinta bisa terputus begitu saja?
Atau sebuah gunung yang menyimpan kisah mistis turun-temurun?
Jika iya, maka Gunung Pegat adalah jawabannya.
Terletak di Desa Kawedusan, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, gunung ini tidak hanya menawarkan keindahan alam yang memukau, tetapi juga menyimpan segudang misteri dan mitos yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sekitar.
Kisah Legenda Gunung Pegat
Kisah penolakan cinta Dewi Kilisuci terhadap Lembusuro menjadi legenda yang penuh dengan misteri dan dampak besar bagi masyarakat Kediri.
Ketika Lembusuro melamar Dewi Kilisuci, sang Dewi menolak cintanya, dan penolakan itu memicu kemarahan besar pada Lembusuro.
Dalam amarahnya, ia mengucapkan kutukan bahwa suatu saat gunung Kelud akan meletus dan lahar panasnya akan mengalir ke wilayah Kediri, menghancurkan segala yang ada di sekitarnya.
Setelah menyadari dampak dari kutukan tersebut, Dewi Kilisuci diliputi penyesalan dan akhirnya memutuskan untuk melakukan pertapaan di beberapa tempat sebagai bentuk penebusan.
Salah satu lokasi tempat bertapanya yang diyakini masyarakat berada di Gunung Pegat.
Selain legenda Dewi Kilisuci, terdapat pula cerita tentang perjalanan suci Punokawan – tokoh pewayangan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong – yang menemui hambatan dalam misinya.
Ketika perjalanan mereka terganggu oleh kokok ayam yang tiba-tiba terdengar, muncul peristiwa ajaib yang tidak terduga.
Gunung yang mereka lintasi mendadak terbelah menjadi dua bagian. Sejak peristiwa ini, gunung tersebut disebut Gunung Pegat, yang berasal dari kata “pegat” dalam bahasa Jawa, artinya “pisah” atau “putus.”
Legenda Gunung Pegat juga dilengkapi dengan kisah Maling Aguno, seorang pencuri yang terkenal karena kedermawanannya di masa penjajahan Belanda.
Maling Aguno hanya mencuri dari orang-orang kaya dan kemudian membagikan hasil curiannya kepada rakyat jelata, terutama yang miskin.
Keberanian, kesaktian, serta keahlian kanuragan membuat sosoknya dihormati sekaligus ditakuti pada masa itu. Sosok Maling Aguno menjadi simbol kepahlawanan rakyat kecil yang melawan penindasan kaum kaya.
Berbagai legenda yang menyelimuti Gunung Pegat membuatnya dianggap sebagai tempat sakral.
Masyarakat setempat percaya bahwa Gunung Pegat membawa pengaruh bagi hubungan pasangan yang ingin berpisah atau mengakhiri hubungan.
Pengantin baru pun dihindarkan untuk melintasi jalur yang membelah gunung ini karena diyakini dapat membawa kesialan bagi rumah tangga mereka.
Tradisi lokal menetapkan bahwa pengantin dari Kawedusan yang akan menuju Dadaplangu sebaiknya memutar jalur melewati Ponggok atau Srengat, agar rumah tangga mereka langgeng dan tidak mudah “pegat” atau putus.
Kendati kepercayaan ini belum dapat dipastikan kebenarannya secara ilmiah, sebagian masyarakat tetap menghormati dan memegang teguh tradisi ini.
Selain dikenal melalui mitos dan legenda, Gunung Pegat juga menjadi tempat perlindungan bagi warga saat gunung Kelud mengalami erupsi.
Pada letusan dahsyat tahun 1919, sekitar 5.160 jiwa kehilangan nyawa, dan 15.000 hektar lahan produktif rusak akibat lahar yang mengalir sejauh 38 kilometer.
Upaya mitigasi dengan membangun bendungan di Kali Bladak pada tahun 1905 ternyata tidak mampu menahan besarnya debit lahar.
Letusan pada 1990 berlangsung selama 45 hari dan memuntahkan material vulkanik hingga 57,3 juta meter kubik.
Letusan terakhir terjadi pada 13 Februari 2014, yang kembali memaksa warga mencari tempat perlindungan di dataran tinggi, salah satunya adalah Gunung Pegat.
Gunung Pegat menawarkan keindahan alam yang memukau dengan pemandangan hijau yang segar, menjadikannya salah satu destinasi alternatif yang diminati wisatawan.
Dari puncaknya, pengunjung dapat menikmati panorama sawah yang membentang hijau dan perkampungan penduduk yang dikelilingi pepohonan.
Tempat ini juga menjadi lokasi yang ideal untuk kegiatan berkemah, terutama bagi anggota pramuka yang ingin mengadakan kegiatan camping atau penjelajahan.
Di puncak gunung, terdapat dua gua kecil yang menambah keunikan Gunung Pegat, dan di bagian barat kaki gunung, terdapat sebuah pemandian alami yang disebut “Jaran Dhawuk” atau “kuda terbang,” sebuah lokasi yang terkenal dengan airnya yang sejuk dan pemandangan pedesaan yang asri di sekitarnya.
Tidak jauh dari Gunung Pegat, terdapat pula situs purbakala Candi Weleri yang berada di desa Bagelenan, menambah daya tarik budaya dan sejarah tempat ini.
Selain Gunung Pegat, Perkebunan Karanganjar menyimpan mitos tersendiri yang tak kalah menarik untuk ditelusuri.
Konon, tempat ini dahulu menjadi lokasi persembunyian para pasukan Pangeran Diponegoro saat berjuang melawan penjajahan Belanda.
Kawasan Nglegok, di mana perkebunan ini berada, juga memiliki jejak sebagai pusat penyebaran agama Islam pada masa Kerajaan Mataram hingga era kolonial Belanda.
Bukti peninggalan ini masih bisa disaksikan melalui keberadaan bangunan-bangunan bersejarah, seperti langgar yang digunakan untuk tempat ibadah, serta seni tradisional yang masih hidup dan kerap ditampilkan dalam berbagai acara di De Karanganjar Koffieplantage.
Penasaran dengan jejak sejarah dan kisah misterius yang tersembunyi di balik rimbunnya perkebunan kopi ini? Mungkin kunjungan Anda ke sana akan membuka lebih banyak rahasia yang belum terungkap.