Sudah Taukah Anda?
Blitar yang sering disebut Bumi Bung Karno, ternyata memiliki sejarah yang kaya dan beragam. Kota ini terbentuk berdasarkan legenda, dimana bangsa Tartar pernah menguasai daerah ini yang kemudian direbut oleh Kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, Blitar mengalami berbagai perubahan signifikan, terutama pada masa kolonial Belanda yang peninggalannya kini menjadi destinasi wisata sejarah populer di kalangan masyarakat.
Pada masa kolonial Belanda, Blitar mengalami berbagai perubahan penting. Salah satu tokoh penguasa yang berperan dalam perkembangan kota ini adalah Djoko Kandung atau Adipati Ariyo Blitar III. Pada sekitar tahun 1723, di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat pimpinan Raja Amangkurat, Blitar jatuh ke tangan penjajah Belanda. Raja Amangkurat menghadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III yang berupaya merebut kekuasaannya.
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Blitar mencakup berbagai aspek, termasuk ekonomi. Beberapa kebijakan ekonomi kolonial Belanda meliputi menarik hasil panen secara langsung, menarik uang sewa rumah, menaikkan uang sewa warung, menyuruh penduduk untuk bekerja rodi, dan menarik pajak dan cukai atas perkebunan. Kegiatan ekonomi di Blitar pada masa kolonial meliputi pertanian dan perkebunan, serta industri berbasis pedesaan dan perkotaan.
Hingga saat ini, masih banyak bangunan peninggalan kolonial Belanda yang bisa ditemui di Blitar. Salah satunya adalah De Karanganjar Koffieplantage, sebuah perkebunan coffee yang telah berdiri sejak 1874. Pada masa kolonial Belanda, komoditas coffee menjadi salah satu fokus utama di Blitar. Seorang Belanda bernama HJ Velsink pada tahun 1874 membuka perkebunan di lereng Gunung Kelud. Velsink juga mendirikan perusahaan bernama “Kultur Mij Karanganjar”. Sebagai komoditi utama, dipilih coffee jenis Robusta dan cengkeh.
Di wilayah perkebunan ini, Belanda mendirikan pabrik pengolahan biji coffee. Bangunan ini masih berdiri hingga saat ini dan menjadi salah satu peninggalan sejarah yang bisa dikunjungi. Selama beberapa puluh tahun, perkebunan dan pabrik coffee ini sering berganti kepemilikan di tangan orang Belanda. Coffee Karanganyar bahkan telah beredar hingga ke seluruh Nusantara dengan kualitas pilih tanding.
Setelah Indonesia merdeka, terjadilah nasionalisasi perusahaan asing. Pengelolaan perusahaan asing yang telah dinasionalisasi, diserahkan kepada para veteran perang kemerdekaan di wilayahnya masing-masing. Untuk wilayah Karanganyar, pengelolaan diserahkan kepada veteran Denny Roeshadi, yang kebetulan juga bekerja di perkebunan ini. Pada tahun 2016, kebun coffee Karanganyar dibuka sebagai destinasi wisata dengan brand wisata baru “De Karanganjar Koffieplantage”.
Dengan demikian, jejak kolonial Belanda terhadap komoditas coffee di Blitar masih bisa dirasakan hingga saat ini, baik dari segi sejarah maupun dari segi wisata. De Karanganjar Koffieplantage bukan hanya sekadar perkebunan coffee. Tempat ini juga menjadi destinasi wisata edukasi yang menawarkan pengalaman unik bagi para pengunjungnya. Di sini, Anda dapat merasakan sensasi menikmati coffee dengan atmosfer berbeda, seolah dibawa kembali ke era kolonial Belanda.
Jadi, jika Anda berencana untuk berkunjung ke Blitar, jangan lewatkan kesempatan untuk mengunjungi De Karanganjar Koffieplantage. Nikmati secangkir coffee sambil merenungkan sejarah panjang kota ini, dan rasakan sendiri bagaimana jejak kolonial Belanda masih terasa hingga hari ini. De Karanganjar Koffieplantage menawarkan pengalaman yang tak terlupakan, sebuah perjalanan melalui waktu yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Selamat berwisata!