Ketika Anda pertama kali melihat arca berkepala singa di Museum Penataran Blitar, beragam emosi mungkin akan muncul.
Bentuknya yang unik dan sedikit tidak lazim mungkin membuat Anda merasa sedikit gentar.
Namun, rasa penasaran yang besar juga mungkin muncul, memicu keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang makna dan sejarah di balik arca tersebut.
Untuk merasakan sendiri pengalaman ini, Anda bisa mengunjungi Museum Penataran di Blitar.
Di sana, arca berkepala singa dipajang bersama koleksi arca lainnya.
Arca ini, yang memiliki nomor koleksi 121, berukuran tinggi sekitar 81 cm, lebar 34 cm, dan tebal 36 cm.
Terbuat dari batu andesit, arca ini dipahat dengan teknik halus yang menggambarkan detail ikonik dan artistik.
Arca berkepala singa ini duduk di atas alas berbentuk padma, yang dikenal sebagai padmāsana, dan memiliki sandaran belakang atau stela.
Di belakang kepalanya terdapat lingkaran kedewataan (sirascakra). Arca menggambarkan sosok dengan wajah singa dan goresan pada dahi yang diyakini sebagai trinetra.
Sosok ini duduk dalam posisi telapak kaki saling bersentuhan (utkutikasana), dengan perut buncit (tundila), dan memiliki empat tangan.
Dua tangan di depan memegang perut, sementara dua tangan di belakang memegang benda: tangan kanan memegang untaian mutiara atau tasbih (aksamala) dan tangan kiri memegang kapak atau parasu.
Secara keseluruhan, sosok ini mengenakan pakaian mewah dan perhiasan yang indah.
Hiasan kepala termasuk mahkota jatamakuta yang dihiasi tengkorak dan bulan sabit (ardhacandrakapala) di bagian depan, serta jamang.
Perhiasan lainnya mencakup kalung (hara), hiasan badan (upavita) yang berbentuk ular, ikat perut (udarabandha), gelang lengan (keyura), gelang tangan (kankana), pakaian bawah (antarvasaka) yang mencapai mata kaki, dan gelang kaki (padasaras).
Arca berkepala singa ini merupakan representasi dari Dewa Ganesha dalam wujud Simha-Ganapati.
Dalam wujud ini, Ganesha dipercaya sebagai media untuk menghilangkan pikiran negatif, membantu pemujanya menghadapi masalah dengan tenang.
Secara ikonografis, Simha-Ganapati biasanya digambarkan dengan wajah campuran singa dan gajah serta memiliki enam sampai delapan tangan.
Namun, adaptasi lokal yang terlihat pada arca di Museum Penataran menunjukkan adanya penyesuaian oleh seniman masa lalu terhadap karakteristik budaya Nusantara.
Makna Singa dalam Hindu-Buddha dan Budaya Nusantara
Singa memiliki makna penting dalam budaya Hindu-Buddha, baik di India maupun Nusantara.
Dianggap sebagai penguasa hutan, singa melambangkan kekuatan dan perlindungan, mungkin karena posisinya sebagai predator puncak tanpa musuh alami.
Dalam kelompok, singa betina berburu sementara singa jantan melindungi, memperkuat simbolisme singa sebagai pelindung.
Singa sering diidentifikasi dengan matahari karena warna bulunya yang kuning keemasan, melambangkan kemuliaan dan kebangsawanan.
Oleh karena itu, singa sering menjadi simbol kerajaan yang menandakan keagungan dan kebanggaan.
Dalam agama Hindu, singa kerap muncul dalam berbagai kitab Veda dan diwujudkan sebagai tokoh dewa seperti Narasimha, inkarnasi Wisnu berkepala singa.
Singa juga digunakan sebagai wahana bagi dewa dan dewi, seperti Dewi Durga, dan sering ditempatkan sebagai penjaga pintu masuk bangunan suci atau landasan tahta untuk menegaskan kemuliaan.
Singa, sebagai simbol kekuatan, kebangsawanan, dan perlindungan, melintasi batas budaya dan agama, memberikan makna mendalam dalam sejarah dan kepercayaan masyarakat, serta menggambarkan nilai-nilai yang dihormati dan dijunjung tinggi.
Mengunjungi Museum Penataran dan melihat arca berkepala singa dapat menjadi pengalaman yang kaya dan beragam secara emosional.
Dari kekaguman hingga rasa ingin tahu, arca ini menawarkan jendela ke dalam warisan budaya dan kepercayaan masa lalu yang mendalam, serta simbolisme yang masih relevan hingga kini.
Melalui interpretasi simbolik dan ikonografisnya, arca ini tidak hanya memukau secara visual tetapi juga menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana masyarakat masa lalu melihat dunia mereka dan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.
Selain arca, masih terdapat banyak peninggalan sejarah di Blitar yang menyimpan misteri termasuk De Karanganjar Koffieplantage, yang merupakan salah satu perkebunan kopi tertua di Indonesia, menyimpan banyak cerita dan misteri yang belum terungkap.
Di tengah kebun kopi, terdapat “Kolam Bintang,” sebuah pentagram yang terkait dengan spiritualisme dan mistisisme.
Kolam ini menjadi daya tarik bagi pengunjung yang penasaran dengan makna dan sejarah di balik simbol tersebut.
Selain itu, Roemah Lodji, bangunan bersejarah yang kini menjadi museum, menjadi saksi bisu sejarah perkumpulan Freemason di Indonesia.
Di area Vredestuin, terdapat makam tua yang disebut “Makam Tuan Smith,” yang menjadi bukti fisik dari keberadaan orang-orang Eropa di masa lalu.
Petilasan Gadhung Melati, berupa batu nisan misterius, juga menarik perhatian karena identitas asli batu nisan tersebut masih belum diketahui.
Semua ini menjadikan De Karanganjar Koffieplantage tempat yang penuh dengan kejutan dan penemuan sejarah yang menarik.