Ditulis pada 07 Juli 2023
Oleh : Wima Brahmantya
Salah satu fasilitas yang dimiliki De Karanganjar adalah hall untuk meeting atau gathering. Beberapa hari lalu trah Keluarga Tan mengadakan reuni keluarga, saya kenal dengan sebagian anggotanya karena orang Blitar, tapi yang datang juga ada dari luar kota bahkan luar negeri.
Lalu salah satu anggota keluarga ngobrol dengan saya dan memperkenalkan saya dengan seorang bapak-bapak yang tinggalnya di Bandung. Bapak tsb diperkenalkan secara khusus ke saya karena beliau juga seniman, tepatnya komikus.
Mendengar bahasanya yang medog Jawa Timuran saya tahu kalau beliau bukan asli Bandung.
“Iya saya orang Malang aslinya, jalan Merbabu (atau Galunggung ya, lupa)”.
“Lho, tonggoan sama saya pak, saya di Ijen”.
Ternyata kita sama-sama lahir dan besar di Malang.
“Kenal sama Aji Prasetyo pak?”, saya menyebutkan nama teman saya seorang komikus dan budayawan asal Malang.
“Yo kenal banget lah. Dulu dia juga belajar ngomik dari buku saya : 14 Jurus Membuat Komik ..”
Hah?!
“Sik sik .. bapak ini Toni Masdiono bukan??”
“Iya.”
“Masha Allah .. sebentar pak!”, saya pun segera berlari ke rumah.
Saya balik dan membawa buku “14 Jurus Membuat Komik” yang sudah saya miliki sejak (kalo ga salah) 1999. Ya, ini salah satu buku paling berharga bagi saya, karena banyak teknik ngomik yang saya pelajari di sini.
“Pak, saya punya beberapa titik mini-library di sini. Yang di Cafe itu buku-buku bagus, tapi yah kalo ibarat ada orang nyolong saya relain deh. Kalo yang di Museum Roemah Lodji itu buku-buku mahal dan berkualitas. Jadi ga boleh sampe ilang. Nah, kalo yang di kamar kerja itu buku-buku yang punya ikatan emosional dengan saya. Misalkan komik Asterix, Tiger Wong, dan tentu saja buku 14 Jurus Membuat Komik. Bahkan buku ini tadi posisinya saya ambil dari WC (you know what’s the meaning).”
Entah apa yang ada di pikiran beliau yang hanya tersenyum kemudian membubuhkan tanda tangan di halaman depan buku tsb.
“Panjenengan itu secara tidak langsung ya “guru” saya. Guru Ngomik. Setelah bertahun-tahun baca bukunya, baru bisa ketemu sekarang, lucu juga kalo dipikir-pikir.”
Setelah itu kita ngobrol panjang di OG Cafe tentang komik dan film, terutama yang buatan Indonesia. Beliau malah ga terlalu ngikutin acara reuninya.
Saya pun ‘curhat’, bahwa cita-cita jadi komikus gagal terealisasi. Salah satu alasannya adalah soal ‘gaya ngomik’. Di tahun 2000an gaya ngomik paling diminati ya gaya manga Jepang. Saya pun belajar keras teknik manga, sampai pada suatu hari saya berpikir “kenapa saya tidak bisa mengembangkan gaya ngomik saya sendiri, at least gaya ngomik ala Indonesia”. Dan akhirnya saya meletakkan pena, dan banting setir fokus jadi musisi.
Tapi ya gagal juga berkarir di musik. Cuma ya ada hikmahnya. Seandainya berhasil di musik dan tinggal sebagai artis di Jakarta, saya ga akan mengelola Perkebunan Kopi De Karanganjar ini.
Btw, secara khusus saya juga ingin ucapkan terima kasih buat om Eko Mardiono yang sudah merekomendasikan buku ini ketika kita masih sekelas di SMA 😄
#dekaranganjar #dekaranganjarkoffie