Ditulis pada 10 Juni 2021
Oleh : Wima Brahmantya
Senang sekali bisa dikunjungi pak Prawoto Indarto – penulis buku “Road to Java Coffee”. Beliau adalah penulis yang berhasil mempromosikan Java Preanger Coffee untuk go internasional.
Kedatangan beliau ke De Karanganjar adalah untuk riset buku yang akan ditulis berikutnya. Buku tsb akan mengkhususkan pembahasan perkebunan kopi yang ada di Jawa Timur. Karena kalau bicara sejarah budidaya kopi di Nusantara memang tidak bisa lepas dari perkebunan kopi yang ada di Blitar, Malang, dan seputaran Gunung Ijen. Sayangnya memang gaungnya kopi dari Jatim ini memang belum terlalu terasa. Padahal “Javanese Coffee” selama berabad-abad sudah jadi standar “kopi enak” di dunia. Bahkan sebagian orang Barat tidak menyebut “a cup of coffee” tapi “a cup of Java”.
Di sisi lain, menurut pak Prawoto setelah beliau berkeliling di perkebunan-perkebunan kopi di Jawa, ternyata memang De Karanganjar Koffieplantage-lah yang paling terasa nuansa kolonialnya, di mana bangunan-bangunannya kebanyakan masih asli. Sementara di tempat lain biasanya bangunan aslinya sudah dirobohkan dan diganti baru.
Satu informasi menarik yang saya baru saya dapat dari beliau adalah asal-usul kata “tubruk” yang biasa kita sebut pada kopi atau teh tubruk.
Jadi kata “tubruk” ternyata diambil dari bahasa Inggris “to brew”.
…
… atau jangan-jangan kebalik ya, orang Inggris yang niru orang Jawa? 🤔