Ditulis pada : 24 Juni 2018
Oleh : Wima Brahmantya
Ada hal menarik dari pengamatan saya di Moesioem mBlitaran yang ada di Keboen Kopi Karanganjar. Beberapa pengunjung berbalik badan meninggalkan museum begitu mereka mendengarkan alunan tembang macapat Jawa yang terdengar dari dalam museum.
Takut. Serem. Ngeri. Jadi inget film horor. Begitulah komentar mereka-mereka dengan ekspresi pucat.
Inilah buah yang dipetik dari generasi muda yang alam bawah sadarnya lebih dikuasai oleh sinetron dibandingkan pemahaman budaya sejak kecil.
Jadinya denger tembang macapat merinding , cium bau kembang kantil mengkorok, masuk candi takut-takut tapi selfinya ga pernah ketinggalan.
Ini belum termasuk penyebab oleh karena pemahaman agama (ingat, “pemahaman” bukan “agama” itu sendiri) yang terkadang menjauhkan manusia dari akar budaya leluhurnya sendiri.
Akhirnya generasi muda kita jadi “gamang budaya” lalu menjadi “gegar budaya”. Kalau sudah begini yang belajar serius tentang budaya kita ya bangsa lain. Dan sekalinya budaya kita ditampilkan di negara tetangga, heboh bukan main kita kebakaran bulu ketek.
Trenyuh juga saya melihat anak-anak Jawa malah takut denger tembang macapat Jawa. Seandainya mereka tahu bahwa tembang-tembang tsb punya nilai-nilai filosofi yang dalam. “Pangkur” misalnya, berarti “pergi” yang mengacu pada tindakan “meninggalkan hawa nafsu yang buruk”. Atau “Asmaradhana” yang berasal dari gabungan “Asmara” dan “Dhahana (api)”, yang berarti “asmara yang berkobar-kobar”. Ini dashyatnya ga kalah loh sama lagu-lagu pop mellow kekinian itu.
Kemajuan suatu bangsa tidak cuma diukur dari sisi materi seperti ekonomi dan teknologi, tapi juga dari sisi spiritualnya. Bangsa yang memahami jati dirinya adalah bangsa yang memiliki kecerdasan spiritualitas tinggi, dan otomatis pantas disebut sebagai bangsa besar.
—–
“Melawan ketakutan terhadap dirimu sendiri adalah satu langkah besar.”