Ditulis pada 25/02/2017
Oleh : Wima Brahmantya
Orang Blitar mengenal saya sebagai pelaku dan pelestari budaya. Tapi untuk urusan keris atau pusaka saya memang belum mendalami secara sungguh-sungguh. Sampai pada suatu ketika keluarga kami harus boyongan dari Pendopo Blitar, dan bingung harus menyimpan di mana ratusan pusaka yang dimiliki Bapak.
Di situ lahirlah ide untuk membuat museum pusaka dengan memanfaatkan bangunan tidak terpakai di area perkebunan kopi kami. Mau tidak mau saya pun harus belajar lebih dalam tentang keris, karena siapa lagi yang akan jadi pewaris koleksi pusaka Bapak kelak kalau bukan saya sendiri?
“Moeseoem Poesaka” kini telah dibuka di Keboen Kopi Karanganjar sebagai wujud komitmen kami terhadap pelestarian budaya.
Bukan hanya keris-keris leluhur keluarga kami yang bisa disaksikan, tapi juga keris legendaris milik Jenderal Sudirman yang pernah dibawa berperang gerilya. Kemudian keris Omyang Jimbe buatan Mpu Jimbe satu-satunya mpu wanita dari Blitar pada zaman Majapahit.
Memang sebagian pengunjung mengaku merinding ketika masuk ke museum ini. Tapi sebenarnya itu semua berpulang kepada mindset masing-masing. Kalo anda hanya melihat pusaka dari sisi gaib-gaibnya saja, memang terkesan horror. Tapi kalo anda melihat pusaka dari sisi budaya apalagi mencoba mendalami filosofinya, maka tiba-tiba anda akan merasa dekat dan berbalik mengaguminya.
Salah satu filosofi keris yang saya sukai adalah bahwa keris dibuat dengan cara ditempa berkali-kali sehingga menghasilkan besi yang kuat, indah, dan bermanfaat.
Begitu pula bahwa manusia perlu ditempa dengan banyak ujian agar menjadi kuat, berkualitas, dan bisa bermanfaat bagi kehidupan.