Ditulis pada 03 Maret 2023
Oleh : Wima Brahmantya
“Jujur aja, pandangan orang China tentang Indonesia adalah “pembantaian etnis Tionghoa”. Hampir semua orang China tahu itu”.
Begitulah Huang Li a.ka Tracy berkata. Saya ga kaget, karena udah pernah baca di Quora. Sedih juga, karena seolah-olah kita dicap sebagai “bangsa pembantai Cina”.
Sebagai orang Indonesia saya merasa wajib menjelaskan kepada dia apa yang sebenarnya terjadi. Saya kira “pembantaian Cina” itu agak berlebihan, lebih tepat jika disebut sebagai “kerusuhan”.
Hubungan Nusantara dengan Tiongkok adalah sejaran panjang, lebih dari seribu tahun. Secara umum itu adalah hubungan yang baik : perdagangan, budaya, dan agama. Memang sekali Tiongkok pernah menginvasi Jawa, yaitu tentara Mongol dari Dinasti Yuan, yang berhasil dipukul mundur oleh Raden Wijaya (yang makamnya ada di Blitar).
“Ya, tapi itu kan Dinasti Yuan Mongol. Bukan Chinese Han”, kata Tracy.
Ya, makanya saya kan bilang secara umum hubungannya baik, sampai tiba era Kolonial Belanda. Di situlah mulainya Pribumi dan Tionghoa dipecah belah. Disekat menjadi kelas-kelas. Orang Belanda dan Eropa lain di kelas teratas, orang Tionghoa di kelas dua, dan Pribumi di kelas tiga. Dalam hal bisnis, orang Belanda maunya berurusan dengan orang Tionghoa. Karena kebijakan ini akhirnya orang Tionghoa pun merasa mendapat keistimewaan, dan mereka menikmati status itu.
Pun demikian, “pembantaian Cina” pertama kali justru dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada Tragedi Angke 1740 oleh Gubernur Jenderal Valckenier. Sekitar 10.000 Tionghoa dibantai. Setelah itu banyak orang Tionghoa yang melarikan diri ke Jawa, dan kemudian bergabung dengan Pangeran Sambernyawa untuk melawan Belanda.
Pembagian kelas itu berlanjut sampai dua abad, dengan orang Pribumi di bawah orang Tionghoa dan Eropa. Maka tidak heran jika kebijakan tersebut menumbuhkan kecemburuan sosial di hati orang Pribumi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, sikap kaum Tionghoa terbelah. Sebagian dari mereka mendukung Republik Indonesia, yaitu dari golongan PITI yang dipimpin Liem Koen Hian. Tapi sebagiannya lagi tidak mendukung Republik, bahkan membantu Belanda. Ini karena mereka khawatir toko-toko mereka akan dijarah Pribumi, dan mereka akan kehilangan hak istimewanya seperti di masa Kolonial dulu.
Kelompok pro-Belanda tersebut bahkan membentuk pasukan keamanan yang dinamai “Po An Tui”. Misi awalnya melindungi aset-aset milik Tionghoa dari penjarahan, tapi malah kebablasan ikut memerangi Tentara Republik. Ini yang membuat Pribumi pada saat itu semakin membenci Tionghoa. Padahal sebagian orang Tionghoa pun berjuang untuk kemerdekaan. Ibarat pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”.
“Wah, kalau dari perspektif China, punya tentara sendiri itu tidak dibenarkan. Kita tidak bisa membayangkan orang Uighur atau Tibet punya tentara sendiri”, ujar Tracy.
Pasca Gestapu 1965, kaum Tionghoa mengalami diskriminasi yang luar biasa dari Rezim Orba yang merepresi identitas mereka, seperti nama dan perayaan hari besar. Rezim Orba juga membekukan hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada 1967, untuk mengenyahkan paham komunis dari Indonesia.
“What? Di Indonesia ada Partai Komunis?” kaget dia. Tracy ternyata ga ngerti bahwa PKI pernah jadi salah satu partai terbesar di Indonesia.
Lalu tibalah kita pada pembicaraan Kerusuhan 1998, yang barangkali momen inilah yang disorot oleh warga Tiongkok. Saya rasa tidak perlu dibahas secara khusus, banyak di antara kita yang udah pada tahu, karena tragedi tersebut belum lama terjadi.
Harus saya jelaskan kepada Tracy bahwa kerusuhan yang terjadi saat itu tidak terjadi secara spontan. Jelas itu terencana oleh kelompok yang menginginkan Rezim Soeharto jatuh, dan seperti sejarah yang sudah-sudah, memang kaum Tionghoa selalu menjadi sasaran empuk.
Lalu saya menceritakan bagaimana Abdurrahman Wahid a.ka Gus Dur naik menjadi Presiden RI. Dia adalah yang pertama dan satu-satunya presiden dari kalangan ulama.
“Apakah nasib kaum Tionghoa semakin sulit di masa dia?” tanya Tracy.
“Sebaliknya. Justru di masa Abdurrahman Wahid lah kaum Tionghoa dipulihkan statusnya. Etnis Tionghoa dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia, mereka boleh memakai nama Tionghoa jika mau, dan boleh merayakan Imlek”.
Setelah kaget di Indonesia pernah ada partai komunis, kali ini Tracy kembali terbelalak. Karena dalam mindset mereka, pemimpin religius akan cenderung fanatik, tapi di sini bisa lain ceritanya.
“Jadi sekarang kamu tahu bahwa memang ada sejarah panjang hubungan Tionghoa dan Pribumi di sini. Ada sebab akibat. Dan biang keroknya selalu politik. Tapi jelas tidak semata-mata kami adalah ‘bangsa pembantai Cina’ seperti yang kalian pikir”, kata saya.
“Lalu bagaimana keadannya sekarang?”
“Kamu bisa lihat sendiri, secara umum kami baik-baik saja. Saya menikah dengan orang Tionghoa. Di perusahaan ini juga ada beberapa orang Tionghoa dan kita bisa bekerjasama dengan baik tanpa ada diskriminasi apa pun ..
.. tapi saya tidak akan menutupi bahwa diskriminasi itu memang masih ada, dan dilakukan oleh kedua pihak. Kebencian juga masih ada, dan sewaktu-waktu bisa memanas apabila ada pemilu. Tapi secara umum menurut saya hubungan Tionghoa-Pribumi di sini cukup baik, yang pasti lebih baik dari tetangga kita Malaysia. Kebanyakan orang Tionghoa di sini lebih merasa sebagai orang Indonesia dibandingkan negeri asal usulnya, walaupun yang rasis juga masih ada.”
“Terima kasih atas penjelasannya. Ternyata ceritanya tidak seperti yang dipahami di Tiongkok. Saya kira saya harus menjelaskan ini kembali ke keluarga di sana”.
Penutup dari saya : “Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Sekarang tergantung bagaimana kita akan membangun kehidupan di masa depan ..
.. yang pasti kedua pihak, baik Pribumi maupun Tionghoa harus sama-sama introspeksi diri dan sadar bahwa kita punya tanggung jawab yang sama untuk memajukan bangsa ini.”
“Oke sekarang saatnya saya mengajar anak blasteran Tionghoa-Jawa ini sekarang” kata Tracy sambil menyapa “ni hao” pada si Jaga Nusantara.