Ditulis pada 21 April 2022
Oleh : Wima Brahmantya
Di perusahaan saya ada tradisi “Jumatan De Karanganjar”, sebagai salah satu program pembangunan mental spiritual buat karyawan.
Siapa “ustadnya”? Untuk saat ini ‘terpaksa’ saya harus turun tangan sebagai ‘ngustad’ bagi para karyawan, walaupun saya sadar bahwa saya masih jauh dari kriteria ‘standar ustad’.
Tapi bukankah menyampaikan ayat-ayat Allah itu memang kewajiban setiap manusia, bukan cuma tugas para kyai saja?
Yang pasti saya ga ngajarin “ilmu kelangitan yang ndakik-ndakik” pada karyawan. Saya ajak mereka untuk menjalankan perintah-perintah sederhana saja, yang ada korelasi langsung dengan etos kerja.
Misalkan saja, budaya “tepat waktu” di perusahaan saya kaitkan dengan ciri-ciri orang bertakwa menurut QS 2:177, yaitu “menepati janji apabila dia berjanji”.
Juga nilai-nilai tentang kerja keras, kejujuran, bersih lingkungan, yang semua itu ada perintahnya di Alquran.
Dan meskipun program ini adalah buat karyawan muslim, ternyata yang non-muslim pun juga kepingin dapat ‘tambahan nutrisi’ di program ini.
Saya meyakini bahwa ‘pendekatan agama’ bisa menjadi alat perubahan mindset yang hebat, jika diberlakukan secara tepat.
Saya juga senang ternyata banyak karyawan yang kritis, mencari jawaban atas pertanyaan kehidupan yang selama ini belum terjawab.
Tapi saya juga harus siap untuk satu dua ‘pertanyaan mainstream’ seputar Islam. Misalnya satu pertanyaan di sore ini :
“Pak, kalau puasa keramas siang hari apa batal?”
Jawab saya : “BATAL … kalau kamu keramas pakai dawet trus dawetnya mbok minum ..