Ditulis pada 09 Agustus 2017
Oleh : Wima Brahmantya
“Gus .. hari ini saya berhenti kerja ya, saya sudah tidak kuat lagi”.
(Note ยป “Gus” ini sebutan buat orang yang dihormati, bukan berarti nama saya berubah jadi “Agus”)
Mbok Boinem (76 tahun), sudah kerja di Keboen dari zaman Kakek saya di era 60-an. Beliau yang selalu rajin merawat bibit-bibit kopi dan cengkeh setiap hari walau usianya sudah senja. Pernah suatu hari saya tertegun tatkala melihat jari jemarinya yang sudah keriput memetik satu demi satu buah kopi yang sudah memerah.
“Titip Keboen ya Gus. Saya doakan semoga tambah maju dan bisa berjaya lagi seperti dulu”.
Amien ….. Semakin tidak bisa berkata apa-apa tatkala beliau mengusap air matanya pake kain jaritnya yang sudah kumal.
Inilah sosok karyawan dari dunia masa lalu yang sangat setia, penuh pengabdian, pekerja keras, dan tidak banyak mengeluh. Tentu berbeda sekali dan kebanyakan karyawan masa sekarang yang “standar kenyamanannya” cukup tinggi.
Dan saya jadi sedikit merasa bersalah, karena dalam 3 tahun kepemimpinan saya (meskipun sudah beberapa kali menaikkan gaji karyawan secara keseluruhan) belum bisa memberikan kepada Mbok Boinem gaji yang layak.
“Sehat-sehat, panjang umur nggih Mbok … sering-sering main kesini, kebunnya disambangi nggih ..”, kata saya ketika menjabat tangannya.